Senin, 26 Mei 2008

Dekonstruksi Ruang Publik Melalui Kasih Ibu

Oleh: Dwi Munthaha

Hari Ibu ditetapkan tanggal 22 Desember pada Kongres Perempuan Indonesia III tahun 1938. Presiden Soekarno melalui Dekrit Preiden Nomor 316 tahun 1959 memperkuat penetapan yang digagas oleh koalisi organisasi perempuan saat itu. 22 Desember dimaksudkan untuk mengenang waktu awal Kongres Perempuan Indonesia I yang diselenggarakan pada tanggal 22 – 25 Desember 1928 di Yogyakarta.
Terpacu dengan semangat sumpah pemuda, para penggiat organisasi perempuan pada tahun yang sama kemudian melaksanakan Kongres Perempuan Indonesia I. Kongres ini berhasil merumuskan tuntutan yang hingga saat ini masih menjadi isu relevan. Antara lain perkawinan paksa dan di bawah umur, persyaratan perceraian, tanggung jawab pemerintah terhadap janda dan anak yatim dan pendidikan untuk kaum perempuan.
Dari kongres tersebut lahir organ gerakan perempuan Indonesia yang diberi nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Gerakan yang dilakukan PPPI, menunjukkan bahwa kaum perempuan berusaha menembus kungkungan ruang domestik untuk hadir mewarnai ruang publik. Isu-isu yang diusung secara kritis menyikapi bagaimana ketidak adilan dirasakan oleh kaum perempuan. Selain isu-isu yang telah disebutkan, PPPI juga mengangkat masalah perdagangan perempuan dan anak saat itu.
Agenda aksi yang dilakukan saat itu hingga melakukan penetrasi di wilayah-wilayah sektoral penghidupan, seperti petani, buruh dan nelayan. Sunguh sebuah gerakan yang cukup dahsyat saat itu. Tentunya mereka saat itu akan berpikir bahwa hak-hak perempuan akan terfasilitasi dengan baik di masa yang akan datang.
69 tahun sudah Hari Ibu dirayakan, pertanyaan yang cukup mendasar, sudahkah agenda perjuangan kaum ibu atau lebih umumnya kaum perempuan di masa lalu dapat berjalan? Analisa sederhana yang dapat dinilai bersama untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah wajah ruang publik.

Dekonstruksi Makna
Seperti apa wajah ruang publik kita? Tentunya dengan sangat mudah terlihat dan dirasakan, bahwa ruang publik kita pada dasarnya bukanlah milik masyarakat yang sesungguhnya. Ada esklusivitas dengan strata sosial yang berbeda telah menguasai ruang publik. Secara umum penguasaan ruang publik lebih didominasi oleh kepentingan kapital. Entah itu dengan bentuk legal, atau juga criminal, semuanya karena pertimbangan kapital. Misalnya seorang konglomerat dengan sangat mudah memfasilitasi ruang publik untuk menggiring masyarakat menghabiskan uangnya di ruang yang telah disediakan. Juga seorang penodong karena motif kebutuhan kapital, memaksa orang lain untuk menyerahkan harta yang dibawa. Sebagian besar kasus itu terjadi di ruang publik dan perempuan adalah korban terbesarnya. Selain untuk melihat peran posisi perempuan, ruang publik dengan mudah menunjukkan apakah pemerintah mampu bekerja dengan baik atau tidak. Selain itu ruang publik juga menggambarkan bagaimana karakter dan budaya masyarakat secara umum.
Ruang Publik yang sering dipahami oleh banyak orang adalah ruang yang disediakan untuk masyarakat. Sebagian besar beranggapan ruang tersebut adalah medium rekreatif. Orang dapat bersenang-senang di ruang tersebut tanpa kemudian memahami siapa yang berkuasa pada ruang itu. Pemahaman lama ini selayaknya harus cepat diubah, bahwa masyarakatlah yang menyiapkan ruang publik dan ada dalam kekuasaannya. Tentunya dalam hal ini tidak dengan serta merta mengabaikan peran pemerintah. Namun yang dimaksud, pemerintah harus dipaksa untuk mengikuti aspirasi masyarakat. Secara normatif, Habermas merumuskan ruang publik adalah bagian dari kehidupan sosial, di mana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi masalah-masalah politik (Juergen Habermas:1991).
Untuk memperkuat kepentingan masyarakat di ruang publik, perlu menghadirkan nilai-nilai kasih sayang, pengorbanan, kegigihan, dan kesetiaan. Nilai-nilai itulah yang hakikinya dimiliki oleh seorang Ibu, perempuan. Kasih ibu inilah yang telah lama hilang di ruang publik, hingga situasinya menjadi seperti saat ini.


Altruisme Seorang Ibu
Kasih sayang ibu adalah sublimasi dari nilai tertinggi kemanusiaan. Tidak ada kepentingannya lain kecuali kasih sayang itu sendiri. Apa pun bentuk dan dampaknya, sejati dari sikap kasih sayang itu terjadi secara alamiah. Ada kekuatan besar yang ingin melindungi anak-anaknya. Sayangnya, kasih sayang itu secara umum tersendat di ruang domestik. Kasih sayang ibu tidak menyebar dan mempengaruhi ruang-ruang publik. Penyebab utamanya adalah budaya dan system kekuasaan yang patriakis. Carut-marut kondisi saat ini adalah cerminan tidak diberinya ruang di mana kasih ibu mewarnai ruang publik. Ironisnya perempuan termasuk juga ibu justru menjadi komoditas utama yang dieksploitasi. Terutama melalui media-media massa yang menyempitkan makna kasih sayang ibu pada benda. Bahkan ada acara-acara yang mengeksploitasi air mata ibu hanya untuk sebuah perlombaan hiburan. Padahal di tempat lain air mata ibu mengalir deras karena kebutuhan dasar keluarganya tidak tercukupi, atau kekejaman structural yang membuat harkatnya sebagai manusia diabaikan.
Ruang publik yang ada saat ini bukan sekadar tidak ramah pada kepentingan perempuan, tetapi lebih parah lagi mulai menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Kasih sayang ibu yang digambarkan di media-media massa hanya ingin menunjukkan sikap romantisme hubungan keluarga. Padahal nilai kasih ibu melebihi hubungan keluarga tetapi menembus hubungan antara manusia dan juga alam. Kasih ibu adalah benih yang tumbuh disetiap cinta altruisme. Tapi lebih dari itu, kasih ibu adalah dasar bagi perkembangan humanisme universal (Erich Fromm:1997).
Domestifikasi kasih ibu inilah yang kemudian membuat nilai-nilai kemanusian hilang di ruang publik. Orang seakan kehilangan tuntunan ketika berada di ruang publik. Motif ruang itu pun berubah, alih-alih memikirkan kenyamanan nilai-nilai kemanusiaan, justru yang terjadi homo homini lupus. Oleh kelompok eksistensialis, sikap altruisme seperti yang dimiliki oleh seorang Ibu, dianggap rentan dengan perendahan martabat. Artinya pihak yang memiliki kekuasaan kemudian akan memanfaatkan sikap tersebut. Dalam system patriakis yang tidak adil seperti sekarang ini, memang hal itu telah terjadi. Namun altruisme seorang ibu harusnya dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan dan juga control dari upaya perubahan. Dari ruang domestik menuju ruang publik yang lebih berkemanusiaan.

sources: Koran Seputar Indonesia, 22 Desember 2007

Tidak ada komentar: