Rabu, 21 Mei 2008

Mencari Bentuk Kebangkitan


Oleh: Dwi Munthaha*

Kebangkitan nasional yang ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908, pada dasarnya adalah satu upaya untuk menjelaskan, bahwa bangsa ini telah melalui proses panjang dalam mencapai kemerdekaannya. Cita-cita kemerdekaan sendiri saat itu belum sepenuhnya disadari, apalagi menjadikan sebuah negara yang bernama Republik Indonesia. Tentunya akan kurang bijak, jika melihat situasi masa lalu dengan cara pandang saat ini. Karena, selain tidak kontekstual juga berakibat pada pengkerdilan upaya membangun marwah bangsa ini. Di tengah polemik pelurusan sejarah tentang awal kebangkitan nasional, tentunya perlu memahami semangat yang ingin menjadi bangsa (being nation).

Faktual, BO didirikan oleh sekelompok priyayi Jawa dan terkesan sangat eksklusif pada awalnya. Namun, Akira Nagazumi ahli sejarah asal Jepang dalam bukunya The Dawn of Indonesia Nationalism (1972), menemukan fakta-fakta penting yang menyebutkan bahwa para pendiri BO adalah priyayi non tradisional. Mereka merupakan keturunan pegawai kerajaan pra-kolonial. Secara geneologis social dalam lingkup kerajaan, posisi mereka tidak akan berubah menuju elit. Tetapi saat itu sudah ada kesadaran, bahwa perubahan dapat terjadi melalui pendidikan.

Pergolakan pemikiran kritis yang terjadi pada awal abad 20, bisa jadi begitu mengencang saat mulai banyak anak muda pribumi yang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Dari pemikiran kritis tersebut kemudian dimulai satu bentuk pergerakan yang semangatnya melakukan perubahan. Berdirinya BO sendiri menjadi inspirasi semangat meng-indonesia.

Kongres BO I tanggal 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta, walau bahasa pengantarnya digunakan bahasa Belanda, tetapi pada diskusi-diskusi kecil digunakan bahasa melayu cikal bakal bahasa Indonesia. Orang-orang priyayi non tradisional biasanya canggung menggunakan bahasa Jawa dalam rapat-rapat umum, karena menghindari kesalahan ucap yang berakibat dianggap tidak sopan. (Koencaraningrat:1985). Digunakannya bahasa melayu dan bukan bahasa Jawa, adalah satu sikap yang ditunjukkan, bahwa perlu adanya bahasa pemersatu yang tidak mengenal tingkatan. Kebiasaan ini kemudian berlanjut pada pertemuan organisasi-organisasi setelah BO.

Dalam historiographi ortodoks, Jawa menjadi acuan sebagai wilayah sentral gerakan. Alasan tersebut dapat dipahami karena dinamika yang berkelanjutan dari gerakan tersebut denyutnya berada di pulau Jawa. Sebelum BO dibentuk, di Riau pada tahun 1892 pernah didirikan sebuah perkumpulan cendikia yang bernama Rusydiah. Dan tidak menutup kemungkinan, di kemudian hari akan ada catatan tentang terbentuknya organisasi yang lebih awal, namun yang lebih penting adalah, bagaimana memaknai sejarah pada konteks waktu yang tepat. Lebih dari itu apa yang penting dipelajari dari sejarah bagi perkembangan masa depan.

Padamnya Nasionalisme

Kebangkitan nasional yang telah berumur 100 tahun, seharusnya dapat dijadikan momen reflektif, bahwa proses pembangunan karakter bangsa ini belum selesai. Adanya jarak antara kaum intelektual terdidik dengan realitas keadaan rakyat memunculkan hegemoni kekuasaan yang dimiliki oleh negara. Hegemoni kekuasaan sendiri telah terlanjur dikembangkan sejak dulu oleh para penguasa, dan hanya memperpanjang budaya kekuasaan feodal dan kolonial yang lebih parah lagi. Rakyat menjadi tidak lagi memiliki kesempatan untuk bangga menunjukkan jati dirinya, karena moralnya sudah ditaklukkan oleh peraturan dan sanksi. Dalam situasi itu, nasionalisme telah dipadamkan dan lebih parah lagi ekspresi kreativitas rakyat terwujudkan dalam tuntunan konsumersisme.

Selain karena budaya kekuasaan, kooptasi terhadap negara dari rezim neo-liberalisme(neolib) yang merupakan lanjutan dari kolonialisme semakin memperpuruk keadaan. Dampaknya adalah pada pemiskinan rakyat dan alam secara sistematis. Alam yang kian rusak tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Padahal pengrusakan alam yang dilakukan demi kepentingan ekonomi. Alih fungsi hutan lindung yang sudah mencapai 10 juta hektar adalah sedikit contoh dari intensitas pengrusakan tersebut. Sebagian besar berubah menjadi areal pertambangan dan perkebunan skala luas, selain bagian kecil untuk pertanian dan pemukiman rakyat. Ironisnya, eksploitasi dan eksplorasi dilakukan oleh perusahaan multi nasional asing, sementara pemerintah sendiri seakan tidak berdaya. Sebagai negara penghasil minyak bumi yang besar, kita justru kelimpungan ketika harga dunia melambung. Kasus serupa juga terjadi pada sektor pertanian. Ketidakmampuan pemerintah mengelola pertanian pangan dan kesejahteraan petani, berakibat pada terancamnya ketahanan dan kedaulatan pangan.

Saat ini, pengrusakan alam dalam skala luas sudah pada tingkat di luar kendali manusia. Bencana alam, perubahan iklim yang berasal dari orientasi gerak kapitalistik, hanya memposisikan rakyat sebagai objek penderita yang dipaksa mampu beradaptasi dengan penderitaan tersebut. Padahal dengan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, permasalahan-permasalahan mendasar tersebut seharusnya dapat diselesaikan dengan kebijakan politik internal. Sayangnya, tekanan neolib membuat semuanya menjadi rumit. Nasionalisme yang dulu dibangkitkan untuk mencapai kemerdekaan, saat ini berkembang tanpa arti. Kedaulatan bangsa telah tergadai dengan patuhnya pemerintah meratifikasi berbagai kebijakan politik ekonomi neolib.

Kebangkitan Rakyat

Kita sedang memasuki era penjajahan baru. Walau dengan motif yang sama dengan penjajahan di masa lalu, wajah yang ditampilkan berbeda. Penjajahan baru ini semakin mempersempit ruang kita untuk mampu merdeka memutuskan dan bersikap. Segala keputusan yang diambil lebih mempertimbangkan aspek ekonomi bukan lagi harga diri sebagai manusia. Hal ini terjadi hampir merata di semua lapisan masyarakat. Solusinya, harus ada kekuatan politik yang berpihak pada kepentingan rakyat. Tentunya sulit untuk mengandalkan institusi politik yang ada saat ini. Kekuatan politik ini harus muncul dari rakyat sendiri. Agenda membangun dan memperkuat organisasi rakyat tidak dapat lagi ditawar-tawar. Dari organisasi-organisasi rakyat inilah kemudian disepakati berbagai bentuk pola pembangunan dan juga kepemimpinan. Rumusan-rumusan yang ada kemudian didesakkan sebagai agenda nasional. Agenda ini menjadi sangat penting untuk dilakukan mengingat semakin menjauhnya perkembangan bangsa ini dari realitas kepentingan rakyatnya. Oleh sebab itu dibutuhkan good will dari kaum terdidik untuk kembali membangkitkan semangat nasionalisme yang memposisikan rakyat sebagai pemilik negeri ini.

Di tengah penderitaan rakyat, justru para pemimpin menegasinya dengan pernyataan-pernyataan narsistik. Disebutkan keberhasilan pemerintah membangun kondisi ekonomi yang baik dengan pendapatan penduduk per kapita US $ 2000 per tahun (Koran Tempo, 7 Mei 2008). Lagu usang dengan bualan trickle a down effect hanyalah siasat, karena pada kenyataannya si kaya tak mau berbagi dengan si miskin. Kekayaan hanya digunakan untuk semakin memperkuat dan memperluas kekuasaan.

Dr. Sun Yat Sen, tokoh revolusi di China dalam rangka membangkitkan rasa nasionalisme rakyatnya mengatakan, “Apabila kita hendak mengobarkan Nasionalisme, maka haruslah lebih dulu kita insyafkan bangsa kita yang 400 juta itu, bahwa saatnya mati sudah dekat!” (Sun Yat –sen:1928).

Bangsa ini harus didekatkan pada realitas yang sesungguhnya. Karena realitas itulah modal untuk mengejar cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa.



* Senior Program Officer, Farmers Initiative for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD) Indonesia

Tidak ada komentar: