Senin, 26 Mei 2008

Membangun Negara Desa

Dwi Munthaha
Program Officer Farmers Initiative for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD) Indonesia

Jika mengamati perkembangan demokratisasi di Indonesia, secara empiris terlihat proses tersebut hanya mengarah pada demokrasi prosedural. Hal tersebut ditunjukkan dengan penggunaan elemen-elemen formal demokrasi dalam kehidupan bernegara seperti adanya pemilihan umum yang teratur, organisasi politik multipartai, kelembagaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, pers yang bebas, serta banyak hal lainnya.
Demokrasi prosedural ini didorong oleh mulai banyaknya warga negara yang mendapatkan pendidikan tinggi serta tekanan dari dunia internasional yang mensyaratkan komitmen berdemokrasi bagi pemerintah Indonesia. Wacana demokratisasi kemudian menggema dari pusat kekuasaan hingga pelosok-pelosok pedesaan.
Sayangnya, pendekatan demokrasi prosedural ini tidak diikuti dengan pemahaman demokrasi substansial. Pendekatan formal ini hanya menggiring masyarakat untuk mengenali kata demokrasi tanpa harus memahami maknanya. Syarat utama demokrasi substansial adalah rakyat memiliki ruang yang seluas-luasnya untuk terlibat penuh dalam merencanakan, memutuskan, dan mengontrol kebijakan-kebijakan politik serta ekonomi yang menyangkut hajat hidupnya.
Demokrasi bukan pemberian yang taken for granted dapat dirasakan. Dalam sejarah perkembangannya sendiri di masa Yunani Kuno, pemikiran ini didahului oleh pemikiran-pemikiran tentang alam semesta. Baru di akhir abad kelima sebelum masehi, perhatian ditumpahkan ke masalah kosmos kecil, masalah dunia tempat manusia hidup, masalah hubungan sesama manusia dan hakikat masyarakat dengan negara (Deliar Noer 1997). Konsep yang dikembangkan di sana kemudian adalah negara kota.
Walau demikian, demokrasi pada masa Yunani Kuno tersebut, pada dasarnya juga belum menyentuh demokrasi substansial. Karena yang diakui sebagai demos (warga), hanyalah sebagian kecil dari populasi penduduk di sana saat itu. Sebagian besar penduduk adalah budak yang tidak memiliki hak untuk bersuara dan berpendapat, bahkan menentukan nasib mereka sendiri. Hanya, dengan jumlah demos yang relatif kecil, demokrasi langsung dapat dengan mudah dilaksanakan.
Jika mengadopsi konsep negara kota di Yunani, maka upaya untuk mewujudkan adanya negara desa adalah pilihan yang menarik dalam konteks Indonesia. Masyarakat pedesaan memiliki peluang yang lebih besar untuk membangkitkan tumbuhnya demokrasi substansial. Karakteristik masyarakat desa lebih mudah melakukan interaksi dengan sesama warganya ketimbang masyarakat perkotaan yang individualistik. Wilayah yang relatif terbatas (dari segi ukuran), akan memudahkan interaksi-interaksi yang ada kemudian ditingkatkan menjadi kontrak sosial.

Modalitas negara desa
Pendekatan yang perlu dikembangkan untuk membangun negara desa, difokuskan pada wilayah penghidupan sebagian besar masyarakat desa, yakni pertanian. Lebih spesifik lagi dari pendekatan ini, dimulai dari isu biodiversitas dan tata ruang mikro (penataan ruang publik). Biodiversitas yang dimaksud adalah pengelolaan keberlanjutan modal alam yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan. Modal alam tersebut adalah tanaman, di mana keberagaman tanaman memiliki hubungan yang kuat dengan keberlanjutan kehidupan dan penjagaan lingkungan.
Konsep ini sering juga disebut sebagai kesadaran ekologis-dalam. Konsep ini kemudian berkembang menjadi ekologi-sosial yang melengkapinya dengan analisis adanya sistem dominator dari organisasi sosial. Patriarki, imprelisme, kapitalisme, dan rasisme adalah contoh-contoh dominasi sosial yang bersifat eksploitatif dan antiekologis (Fritjof Capra: 2001).
Pemahaman tentang ekologi ini akan ditingkatkan menjadi kemampuan masyarakat dalam menata ruang kehidupan bersamanya (ruang publik). Secara normatif, Habermas merumuskan publik adalah bagian dari kehidupan sosial, di mana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi masalah-masalah politik (Juergen Habermas:1991).
Budaya berkumpul di pedesaan hingga saat ini masih terjaga. Namun media berkumpul tersebut hanya sebatas untuk kepentingan-kepentingan khusus semisal pertemuan kelompok tani, pengajian, arisan, kerja bakti, dan lain sebagainya. Media itu tidak sepenuhnya milik masyarakat karena secara sosio-struktural, ada pihak yang punya kekuasaan terhadapnya. Pada dasarnya masyarakat belum memiliki ruang publik di mana ada kewenangan bagi masyarakat sendiri untuk menentukan fungsi dari ruang tersebut.

Agenda perubahan
Belakangan memang banyak bermunculan program yang berlabel partisipatoris. Namun sayangnya program-program tersebut mengabaikan realitas psikologi dan sumber daya manusia masyarakat pedesaan saat ini. Sebagian besar warga masyarakat pedesaan tidak sempat menikmati fasilitas pendidikan yang berkualitas. Secara sistemik, eksistensi dan peran mereka diletakkan pada posisi marjinal. Posisi inilah yang menghancurkan rasa percaya diri masyarakat desa. Sementara banyak program yang menyisipkan kata 'partisipatori' yang pada dasarnya hanya menerjemahkan kemauan dari bentuk ’top-down. Pengertian top-down yang dimaksud di sini bisa berasal dari pemerintah, LSM maupun juga kaum intelektual. Pola partispatoris semacam itu tidak memberi peluang bagi masyarakat untuk menentukan keputusan berdasarkan pemikiran mereka sendiri.
Memberi peluang bagi masyarakat untuk berkembang, secara alami akan membuat kesadaran hidup berdemokrasi lebih berkualitas. Tentunya untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan usaha yang gigih dari masyarakat sendiri. Jika melihat kondisi masyarakat saat ini, di mana pengaruh sikap pragmatisme sudah sedemikian kuatnya, maka perlu adanya intervensi dari kelompok progresif untuk menjaga arah dari pembentukkan negara desa. Tantangan terbesar gagasan ini akan muncul dari kelompok nasionalis sempit yang akan beranggapan bahwa model negara desa akan memperlemah konsep negara kesatuan.
Namun tuduhan dan anggapan itu dapat ditepis dengan memasukkan negara desa dalam bagian integral negara kesatuan. Justru keberadaan negara desa akan memperkuat posisi negara kesatuan, di mana masyarakatnya lebih memahami kepentingan bersama. Semangat kebangsaan menjadi landasan penting dari gagasan ini. Semangat ini yang telah lama pudar karena gagalnya kesejahteraan rakyat diwujudkan.
Jika melihat situasi saat ini, gagasan negara desa dapat dijadikan wacana kritis bagi pengembangan demokratisasi di Indonesia. Mengubah wacana kritis menjadi kekuatan menuju perubahan sosial, merupakan agenda besar yang harus dilakukan oleh masyarakat pedesaan. Perubahan sosial dari desa akan mewarnai dinamika demokratisasi ke wilayah yang lebih luas.

Ikhtisar
  • Demokratisasi yang berjalan di Indonesia saat ini secara nyata barulah terjadi pada tingkat prosedural dan belum sampai pada persoalan substansial.
  • Menumbuhkembangkan demokrasi dengan konsep memberdayakan warga desa bisa menjadi pilihan agar proses tersebut benar-benar menemukan maknanya.
  • Model negara desa adalah salah satu cara yang bisa digunakan untuk membangkitkan demokrasi substansial.- Semangat menjaga Indonesia sebagai negara kesatuan harus tetap menjadi landasan bagi model tersebut.

sources: Republika, 20 Oktober 2007

Tidak ada komentar: