Rabu, 21 Mei 2008

“Idealisme” Mencari Berkah Politik

Oleh: Dwi Munthaha*

Tanpa terasa reformasi telah berumur 10 tahun. Setelah Soeharto terpaksa mundur pada 21 Mei 1998, keran politik menuju elit dibuka lebar-lebar. Seakan semua orang punya kesempatan untuk duduk di wilayah yang bertabur fasilitas itu. Tukang becak, loper koran, pedagang asongan yang dulunya mungkin tidak berpikiran masuk ke dunia tersebut, diberi ruang untuk dapat bersaing. Di beberapa tempat ada yang berhasil menduduki kursi istemewa tersebut. Namun, apa yang terjadi setelah itu, perubahan juga tidak terjadi bahkan semakin parah.

Lalu ke mana para reformis yang dulu ada di garis depan saat penggulingan Soeharto? Beberapa ada yang terserap di parlemen dan birokrasi, tapi ternyata juga tak mampu berbuat apa-apa. Demikian juga dengan pentolan aktivis mahasiswa. Semangat yang menggebu melawan rezim totaliter, juga tidak diimbangi dengan konsep yang sistematis. Mereka kemudian hanya menjadi pajangan di kursi-kursi parlemen dan birokrat. Maraknya mantan aktivis mahasiswa terjun ke dunia politik, bukanlah sesuatu yang baru. Dari sejak republik ini merdeka, panggung politik selalu disemarakkan oleh mantan aktivis mahasiswa yang lalu lalang dengan baju yang berwarna-warni. Siapa yang tidak mengenal Sukarno dan Hatta, mereka pun sebelumnya merupakan aktivis mahasiswa. Bahkan, posisi tertinggi dalam politik dapat mereka dapatkan. Lalu, apa istimewanya dan penting untuk diperdebatkan mantan aktivis menjadi anggota parlemen dan birokrat?

Pengkhianat Reformasi

Kecaman yang paling keras dilontarkan, mereka adalah pengkhianat reformasi (dalam konteks aktivis 1998). Lalu pertanyaannya, pernahkah mereka menjadi pejuang reformasi? Aktivis mahasiswa di negeri ini, terlanjur mendapatkan citra yang penuh dengan muatan heroik dan idealis. Mereka melakukan perjuangan melawan rezim yang korup dan menindas tanpa mempedulikan resiko yang menghadang. Pada fase tersebut, mereka melihat hitam putih, siapa kawan siapa lawan. Dan jelas, lawan pada saat itu adalah Rezim Orde Baru dengan mesin politiknya Golkar. Lalu, ketika ada mantan aktivis yang menjadi anggota parlemen, terlebih lagi dari Golkar, mereka langsung mendapatkan cap pengkhianat reformasi. Kecaman pengkhianat dapat disanggah dengan argumen hendak bermain di dalam sistem. Pertanyaan klasiknya, apakah mereka mampu bermain di dalam sistem yang sudah terlanjur rusak?

Pertanyaan ini terlalu cepat untuk diajukan, karena harus dipahami dahulu, mengapa mahasiswa mendapat perhatian lebih di negeri ini? Apa kontribusi mahasiswa, hingga figur mereka selalu mendapatkan kesempatan berada di tempat yang disorot publik. Jika artis sinetron atau pelawak mungkin jelas, banyak yang merasa terhibur oleh mereka. Dengan modal itu ada beberapa artis yang berhasil menjadi anggota parlemen dan kepala daerah. Apakah mungkin aktivitas gerakan mahasiswa juga merupakan salah satu hiburan yang menarik? Jika mencermati sejarah dari gerakan mahasiswa sejak tahun 1966, aktivitas yang paling menonjol adalah demonstrasi. Julukan seorang demonstran merupakan kebanggaan tersendiri, karena itu membedakan dengan mahasiswa lainnya. Seorang aktivis demonstran tidak dituntut berpenampilan wah. Celana dan baju jarang ganti, merokok pun bisa satu batang ramai-ramai. Namun dari sisi intelektual, mereka punya kemampuan untuk mengaktualisasikan gagasan, pendapat dari beragam referensi yang dimiliki.

Kemampuan tersebut, kemudian diikuti dengan pengorganisasian massa. Dalam hal ini yang dimaksud massa adalah mahasiswa itu sendiri. Ada juga memang yang bisa menjangkau massa lain, seperti buruh dan petani, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Dengan bekal tersebut, mereka melakukan pengkritisan terhadap jalannya pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Kritik secara terbuka (demonstrasi), kemudian mengundang media massa untuk mempublikasikannya. Jadilah mereka semakin populer, terlebih ketika mampu menjatuhkan rezim kekuasaan. Satu rezim jatuh, bergantilah rezim lain yang ternyata juga tidak lebih baik dari sebelumnya. Artinya, kontribusi terbesar dari mahasiswa adalah membantu upaya penggulingan sebuah rezim. Lalu apa kontribusinya bagi rakyat? Selama pergantian rezim kekuasaan, pihak yang paling tidak diuntungkan adalah rakyat. Siklus tersebut terus menerus berulang, dan yang paling menonjol dan diuntungkan dari peristiwa-peristiwa itu adalah tokoh-tokoh mahasiswa.

Memperkuat Gerakan Rakyat

Gerak yang ditunjukkan aktivis paska mahasiswa, kebanyakkan melemahkan elanvital gerakan yang mereka bangun, tetapi di sisi lain bahkan memotivasi untuk berperilaku serupa. Tetapi pada dasarnya gerakan yang dibangun kurang atau bisa disebut tidak memiliki kontribusi bagi kepentingan rakyat. Pada saat mahasiswa, paradigma berpikirnya kritis-reaktif, setelah melalui masa itu berubah menjadi pragmatis. Tentu saja pikiran ini masih berupa dugaan, untuk figur- figur yang tampil saat ini. Namun, pengalaman empiris dari banyak mantan aktivis yang terjun ke politik dan mengatasnamakan rakyat hasilnya nol besar bagi rakyat, tapi tentunya tidak bagi mereka pribadi. Setidaknya, kebiasaan merokok satu batang ramai-ramai, sudah tidak pernah lagi dilakukan, karena persediaan rokok yang melimpah, atau sudah berhenti merokok karena kebanyakan penyakit akibat rakus dengan gaya hidup yang wah.

Tetapi, apakah kemudian seorang mantan aktivis tidak boleh masuk ke dalam sistem? Tentunya, kembali pada pilihan personal masing-masing. Kelemahan yang mendasar dari setiap gerakan adalah internalisasi nilai-nilai ideologis yang menjadi wacana mereka (yang paling parah tidak ada ideologi). Gerakan mahasiswa misalnya, dianggap sebagai sebuah fase dari perkembangan anak muda yang sempat mencipipi bangku kuliahan. Satu kesempatan yang eksklusif, sebab tidak semua anak muda negeri ini mendapatkannya. Tidak adanya ikatan ideologis, hingga setelah itu mereka bebas untuk menentukan pilihan. Dengan model semacam itu, maka tidak akan pernah ada perubahan sistem secara signifikan, walaupun semua wakil rakyat adalah mantan aktivis mahasiswa. Idealisme yang dibangun dengan model tersebut adalah idealisme mencari berkah politik. Mereka memiliki kesadaran, bahwa politik mempunyai kekuatan memegang kendali kekuasaan. Dengan kekuasaan banyak hal yang bisa diperbuat dan didapatkan.

Lalu apa yang harus diperbuat oleh aktivis mahasiswa sekarang? Jika ingin bermanfaat, gerakan yang dibangun harus bersandar pada penguatan posisi rakyat. Gerakan itu harus mampu memberi pendidikan pada rakyat. Bekal itu akan menjadikan rakyat sebagai tokoh utama pada setiap perubahan yang diinginkan. Dengan pilihan ini, bersiaplah untuk tidak populer, itupun kalau kita sepakat bahwa demokrasi adalah kedaulatan rakyat.



* Presidium Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) 1997-1998, Saat ini Senior Program Officer, Farmers Initiative for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD) Indonesia

Tidak ada komentar: