Senin, 26 Mei 2008

Intelektual Versus Kepentingan Rakyat

Oleh : Dwi Munthaha

Intelektual atau juga sering disebut dengan cendikiawan merupakan satu kelompok sosial tersendiri dalam masyarakat. Kelompok ini lahir belakangan, karena sebelumnya mereka dapat berasal dari kelompok sosial manapun. Di Indonesia intelektual, dimasukkan dalam golongan kelas menengah. Posisi kelas menengah inilah yang membuat potensi para intelektual dapat berubah menuju dan menjadi elit. Dari potensi tersebut, maka perlu disimak orientasi dari intelektual berhadapan dengan kepentingan rakyat.
Ada 2 kategori umum untuk definisi intelektual. Pada satu pihak adalah mereka yang beratribut karakteristik pribadi khas, seperti misalnya ”seorang yang baginya berpikir itu sudah memenuhi secara sekaligus fungsi bekerja dan bermain” atau mereka yang tampaknya tidak pernah puas dengan apa-apa seperti adanya dan pada lain pihak, mereka yang mencermati struktur dan fungsi-fungsi sosial (Ron Eyerman:1996).
Seringkali para intelektual dianggap independen, netral tidak berpihak pada golongan manapun. Namun Gramcy berpendapat lain, bahwa kelompok intelektual bukanlah komunitas yang berdiri sendiri (independen). Akan tetapi setiap komunitas memiliki atau menciptakan kelompok intelektualnya sendiri (Muhammad ‘Abid al-Jabiri 2003). Pendapat Gramcy itu menempatkan intelektual pada subordinasi kelompok tertentu. Tapi mungkinkah intelektual dapat masuk dalam kelompok independen dalam hal ini punya kepentingan sendiri pada kekuasaan?

Posisi intelektual
Jika kembali pada permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini, di mana korbannya adalah rakyat, maka kita berhak untuk mempertanyakan, apakah mungkin ada netralitas yang digusung oleh orang per orang atau kelompok yang mengatasnamakan “berjuang demi kepentingan rakyat”? Perjalanan sejarah kekuatan politik beserta anasir-anasirnya di negeri ini telah menunjukkan kenyataan, hak rakyat tidak cukup dipenuhi. Data statistik manapun tidak akan cukup mampu untuk menjelaskannya, karena pemandangan penderitaan dan kemiskinan setiap hari dapat kita saksikan di mana-mana.
Lalu di mana posisi intelektual yang dianggap mahluk netral, hingga apa yang mereka katakan dianggap sebagai kebenaran? Tentunya kaum intelektual dapat membangun argumentasi dengan segepok teori dan metode analisis. Mereka sangat terampil, jujur dan setia. Dari mana dia peroleh itu? Apa filsafat di balik teori-teori tersebut, apa kepentingan aliran ilmu yang dia miliki dan seterusnya. Ambil contoh penelitian seorang ahli sosiologi. Siapa yang menentukan topik penelitiannya? Siapa yang membiayai dan digunakan untuk apa kemudian hasil penelitian itu? Berapa besar dia dibayar dan bagaimana perbandingannya dengan tenaga penyebar kuesioner umpamanya? Kenapa dia yang dipilih? Apa hubungan antara teori yang dia kuasai dengan kepentingan pemberi dana? Apa penjelasan itu semua?
Pertanyaan-pertanyaan di atas berguna untuk mengetahui mengetahui, apa motif di balik pernyataan-pernyataan atau analisis yang dikemukakan oleh para ahli. Artinya proses untuk mereka mampu membuat analisis atas sebuah peristiwa, bukanlah sesuatui yang netral. Kemampuan mereka terbentuk dari rangkaian proses yang melibatkan kepentingan-kepentingan yang terkadang tidak mereka sadari. Opini ilmiah yang disampaikan oleh para intelektual tentang kasus lumpur Lapindo dan PT Asian Agri merupakan sedikit contoh dari keberpihakkan intelektual.
Dengan dasar tersebut, apakah kemudian mereka menjadi layak diposisikan sebagai kelompok netral atau independen? Belum lagi, ketika di antara mereka kemudian tersedot untuk kepentingan politik. Pada situasi tersebut, mereka tidak lagi layak lagi disebut independen karena merupakan bagian dari elemen kekuatan politik. Oleh karenanya, bukan pemecahan masalah yang akan didapat dari mereka, tetapi akan muncul masalah baru, karena mereka juga bagian dari faktor masalah yang ada.
Lihat apa yang dilakukan oleh para intelektual menjelang masa pemilu. Ada yang mendirikan parpol untuk mengukur kekuatan mereka dan penerimaan publik. Ada yang bergabung dengan parpol, tim sukses, serta ada juga yang berhasrat menduduki kursi kekuasaan. Tentunya dengan melihat gelagat yang dilakukan oleh para intelektual itu, bukan tidak mungkin suatu saat, kekuasaan akan dapat dipegang oleh mereka. Lalu bagaimana sikap mereka terhadap rakyat?

Stigma Gerakan Rakyat
Jika kita memakai konteks perubahan, maka sulit untuk berharap, keluarnya solusi masalah dari orang yang punya kepentingan pada kekuasaan. Berapa banyak intelektual yang menggunakan keahlian yang tidak membantu rakyat keluar dari masalahnya. Kalau toh ada, biasanya itu dilakukan dengan setengah hati, misalnya perumusan mereka terhadap solusi atas masalah bangsa melalui terminologi reformasi bukan revolusi. Kata reformasi sendiri, sudah dapat menunjukkan sikap intelektual di negeri ini
Dari sejarah Indonesia, ada yang layak dianggap sebagai revolusi. Revolusi pertama terjadi saat Indonesia merdeka, lepas dari kekuasaan imperialis Jepang. Saat itu, secara tegas, formasi kekuasaan ada di tangan pribumi. Lalu pada tahun 1967, yang diawali dengan Gerakan 30 September 1965. Terjadi perubahan total saat itu, dari formasi kekuasaan hingga ideology. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merupakan kekuatan yang dominan, dibubarkan serta banyak pengikutnya yang dipenjara dan mati dibunuh. Sikap penguasa juga berubah, yang tadinya menentang pengaruh kapitalisme barat dengan menolak bantuan (go to hell with your aid), menjadi sangat terbuka bagi masuknya kepentingan kapitalisme global. Perubahan-perubahan yang sangat mendasar tersebut layak disebut sebagai revolusi. Sedang peluang yang sama juga terbuka pada tahun 1999. Hanya saja, permasalahan yang ada kemudian disederhanakan oleh para intelektual dengan hanya menyebut Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyederhanaan masalah tersebut diperlunak dengan usulan reformasi bukan revolusi.
Mengapa kemudian usulan itu menjadi pilihan? Mari kita lihat satu kasus di bulan Mei 1998 di Jakarta dan Solo serta beberapa kota besar lainnya. Rakyat dengan jelas menyatakan kepentingannya, ”Kami berhak juga atas segala kemakmuran dan keadilan!” Caranya: mereka mengambil barang-barang yang merupakan symbol kemakmuran, dari tempat-tempat yang mudah mereka akses pada saat itu (bisa perumahan mewah, atau mal-mal). Tentu saja tujuannya supaya mendapatkan keadilan. Tapi apa opini yang berkembang di media massa? Tindakan itu disebut sebagai penjarahan, kriminal, dan karenanya harus dihentikan, dan pelakunya harus dihukum. Bagaimana kita bisa menjelaskan makna dan nilai-nilai yang ada dibalik vonis tersebut? Sebagian besar kemakmuran yang dicapai oleh orang per orang berasal dari hasil korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagian besar pengusaha memperoleh modal dari utang pada negara. Dan kalau kita katakan kriminal, hukum yang mana yang kita pakai sebagai landasan? Bagaimana sebuah peraturan ditentukan dan diberlakukan? Untuk kepentingan siapa? Dan, apakah rakyat miskin yang tak punya daya itu, mampu mendesakkan sebuah peraturan yang sesuai dengan kepentingan mereka? Mari kita coba membayangkan sebuah skenario lain dari peristiwa tersebut: Massa rakyat yang terorganisir (perlu peran kaum intelektual yang berpihak untuk melatih rakyat membangun organisasi yang kuat) mengambil alih pusat-pusat perbelanjaan, mengubah status kepemilikannya menjadi koperasi konsumen organisasi rakyat setempat, menyita harta-harta yang berlebihan dari perumahan-perumahan mewah, semisal jumlah mobil yang berlebihan dan seterusnya. Maka, perjalanan sejarah kita bisa lain, terutama bila dilihat dari kepentingan rakyat. Apakah kita setuju atau menolak skenario ini bisa juga dilacak dari mana asal-usulnya sikap itu, sekaligus memperjelas di mana posisi kita berhadapan dengan kepentingan rakyat

sources: Sinar Harapan 11 Maret 2008

Tidak ada komentar: