Rabu, 21 Mei 2008

Ambiguitas Kebijakan Pertanian Pangan

Oleh: Dwi Munthaha*

Naiknya harga beras dunia yang mencapai lebih dari US$ 800/ ton, seharusnya menjadi kabar baik bagi petani, khususnya petani Indonesia. Logika warasnya, lebih dari 25 juta kepala keluarga di Indonesia berprofesi sebagai petani. Dengan jumlah tersebut, selain tidak khawatir dengan ketahanan pangan nasional, juga punya peluang meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, harga beras tinggi tidak punya korelasi yang signifikan dengan kesejahteraan petani.

Orientasi produksi yang ditekankan oleh pemerintah selama ini, ternyata tidak dilengkapi dengan kemampuan menyerap produk petani. Petani dibiarkan berhadapan langsung dengan pasar. Alhasil jumlah petani pangan semakin berkurang berikut dengan konversi komoditas dan lahan. Atas realitas itu, pembenaran impor beras menjadi masuk akal dengan dalih ketahanan pangan nasional. Dari tahun 2000 -2007 tercatat jumlah impor beras rata-rata mencapai 2 juta ton. Hingga saat ini menurut Menteri Pertanian diperkirakan cadangan beras sekitar 1,25 juta ton (Kompas/1 April). Dari ketersediaan yang ada, pemerintah menyatakan, kita tidak perlu khawatir dengan naiknya harga pangan dunia saat ini. Bahkan peluang untuk mengekspor beras menjadi terbuka.

Dengan sigap Menteri Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor12/M-DAG/Per/4/2008 memperbolehkan Badan Urusan Logistik (Bulog) dan Perusahaan swasta melakukan ekspor. Bulog diperbolehkan mengekspor beras berkulit (padi atau gabah) untuk keperluan benih, beras organik, beras merah, beras siam dan beras pandan wangi. Sedang perusahaan swasta hanya boleh mengekspor beras ketan (Koran Tempo/16 April). Persyaratan lainnya, ekspor baru dapat dilakukan jika stok Bulog sudah di atas 3 juta ton.

Belenggu Ketergantungan Petani

Terlepas peraturan yang dimaksud agar ekspor beras dilakukan tidak asal-asalan, menunjukkan pemerintah tidak punya konsep yang jelas terhadap ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Petani hanya dijadikan tenaga kerja penyedia pangan nasional. Dari saat proses produksi hingga paska panen, pemerintah menghadap-hadapkan petani dengan realitas bisnis. Petani kesulitan untuk mengakses benih yang unggul, pupuk serta sarana produksi pertanian (saprotan) lainnya, karena penguasaannya telah berganti ke perusahaan. Sementara pada masa lalu, saat petani masih berdaulat dengan caranya sendiri, pemerintah memaksa petani menggunakan pola pertanian modern untuk meningkatkan produksi (revolusi hijau).

Karena pemaksaan tersebut, petani menjadi tergantung dengan berbagai barang input pabrikan untuk keperluan berproduksi. Situasi ini juga tidak diantisipasi oleh pemerintah hingga banyak spekulan menjadikan petani sebagai objek untuk mencari keuntungan. Lepas dari fase produksi, petani kembali dihadapkan pada masalah pasar. Pasar petani adalah potret buram dari ketidakadilan sistemik yang ditimpakan pada kaum marginal pada umumnya. Petani tidak mampu melakukan penawaran harga, karena ketidakjelasan siapa yang mampu menampung hasil panennya kecuali tengkulak dan Bulog.

Tengkulak adalah swasta memanfaatkan peluang dari ketidakjelasan mekanisme pasar di tingkat petani. Mereka berinisiatif mengambil keuntungan sebesar-besarnya karena sulitnya petani mengakses pasar. Ditambah dengan sederhananya teknologi petani paska panen serta tekanan kebutuhan ekonomi yang meningkat. Situasi inilah yang berhasil dimanfaatkan untuk menekan harga di tingkat petani.

Pasar lainnya adalah Bulog, lembaga pemerintah yang kerap dirundung masalah. Lembaga ini bukannya mampu membantu petani, tetapi justru memberi ruang bagi para spekulan untuk mengambil keuntungan dari petani. Alih-alih menjalankan mandat untuk mempertahankan ketahanan pangan bagi seluruh warga negara, kinerja Bulog justru mengancam kedaulatan pangan. Dengan mudah Bulog menyimpulkan situasi krisis hingga keputusan impor beras dinilai rasional. Orientasi Bulog sebagai lembaga profit yang tersamar, pada akhirnya diperjelas dengan mengubahnya menjadi Perusahaan Umum (Perum) melalui Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2003. Subsidi bagi Bulog kemudian dihilangkan. Artinya pemerintah semakin mempertegas sikapnya, tidak memperhatikan nasib petani pangan. Walau secara periodik, pemerintah menetapkan peraturan tentang Harga Pembelian Gabah dan Beras, namun Bulog cendrung mempersulit petani untuk menjual hasil panennya.

Upaya untuk mempermudah penyerapan beras petani seperti halnya Program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP), juga menunjukkan ketidaktelitian pemerintah memahami realitas sosial pedesaan. LUEP sebagian besar diserahkan ke perusahaan penggilingan padi (Perpadi). Di banyak tempat pihak penggilingan juga berlaku sebagai pengijon dan penentu harga.

Nasib petani di Indonesia memang dapat dikatakan tragis. Teori ekonomi klasik yang dianggap tidak adil sekalipun, dimana harga ditentukan oleh biaya produksi, masih jauh untuk terpenuhi. Apalagi jika menggunakan teori ekonomi kritis, di mana harga disesuaikan dengan kebutuhan hidup. Lalu siapa sebenarnya yang mampu membantu petani untuk keluar dari masalahnya?

Pengorganisasian Pasar yang Adil

Sebagai produsen yang dikerdilkan, petani dituntut memiliki kesadaran, bahwa hanya dengan membangun organisasi yang kuat masalah pelik dapat dihadapi. Organisasi inilah yang diharapkan mampu menjabarkan semua permasalahan petani berikut rumusan jalan keluarnya. Semisal tentang pasar petani yang terkait langsung dengan distribusi produk. Petani harus mampu mengorganisir kebutuhan pangan di tingkat lokal melalui pasar lokal yang adil.

Pasar lokal dimaksud adalah pasar yang transaksinya dilakukan untuk kebutuhan masyarakat setempat. Pasar semacam ini tidak pernah terwujud jika barang yang disediakan tidak diproduksi di wilayah tersebut. Untuk itu, perlu diidentifikasi jumlah barang yang dibutuhkan dan berapa yang membutuhkannya. Pada tanaman pangan seperti padi, jumlah luasan dan hasil panen di tingkat desa bukanlah hal yang sulit untuk diketahui. Dari sana kemudian dapat dirancang bentuk pasar yang ideal bagi kebutuhan desa setempat. Kasus tanaman pangan menjadi suatu yang khusus, karena negara mendapat mandat, memastikan tak seorang pun warga negaranya yang kelaparan. Oleh karenanya, negara bertanggungjawab mendistribusikan produk yang tidak tertampung untuk warga negara miskin di daerah tersebut. Demikian juga sebaliknya, ketika satu daerah terindikasi kekurangan persediaan pangannya, maka pemerintah bertanggung jawab mendistribusikan dari daerah yang surplus. Selebihnya, baru peluang ekspor terbuka untuk dilakukan. Konsep sederhana ini menjadi rumit, ketika political will negara sedemikian rendahnya. Melepas petani pangan dalam pertarungan bisnis, akan berakibat pada runtuhnya moral petani. Dalam situasi tersebut, sangat dimungkinkan munculnya kreativitas individual. Semisal petani bekerjasama dengan perusahaan untuk memproduksi beras-beras khusus (organik) yang mahal di pasaran luar negeri khususnya kawasan Eropa dan Amerika Serikat. Karena nasibnya tak kunjung diperhatikan oleh negara, sebagian besar produknya diekspor dengan selisih harga yang lebih baik. Walau pada kenyataannya perusahaan lebih diuntungkan dari petani, tetapi pilihan itu akan mengancam ketahanan pangan nasional. Pemerintah sendiri hingga saat ini tidak memiliki mekanisme khusus pembelian produk organik. Sementara jumlah petani organik semakin bertambah. Namun, melihat salah satu butir dari Permendag mutakhir tentang ekspor beras, kriteria beras organik termasuk di dalamnya. Tentunya ini menjadi tanda tanya, dari mana Bulog mendapatkannya? Sementara tidak ada lagi subsidi pada Bulog setelah berubah menjadi Perum. Artinya petani dengan produk yang berkualitas pun tetap hanya akan menjadi objek dari penguasa modal. Parahnya lagi kedaulatan pangan nasional pun menjadi terancam.



* Senior Program Officer, Farmers Initiative for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD) Indonesia

Tidak ada komentar: