Rabu, 14 April 2010

Kebijakan perbenihan & kedaulatan pangan

Pada 16 Oktober kemarin, diperingati Hari Pangan Sedunia (HPS). Namun bagaimana nasib petani sebagai penyedia pangan? Belakangan ini, harga bahan pangan berangsur naik, sementara kemampuan daya beli konsumen tidak berubah bahkan cenderung menurun.

Adakah keuntungan bagi petani ketika harga pangan melonjak? Kenaikan harga pangan serta kelangkaan pangan, ternyata tidak berkorelasi positif terhadap keuntungan petani. Justru yang terjadi, kasus kekurangan pangan dan gizi buruk sering ditemukan di daerah pedesaan, di mana mayoritas masyarakatnya hidup di sektor pertanian.
Kontradiksi ini disebabkan oleh banyaknya kebijakan pemerintah yang antara satu dengan lainnya saling bertentangan. Salah satu kebijakan yang mengganjal tersebut adalah kebijakan tentang perbenihan.
Selain tanah, benih bagi petani adalah kebutuhan dasar dalam berproduksi. Sementara bagi para elite kekuasaan, benih adalah tempelan dari simbol kekuasaan mereka. Soeharto pernah diluncurkan varietas Pelita, Gus Dur muncul dengan benih padi varietas Sinta Nur, Megawati dengan varietas Fatmawati dan belum hilang dari ingatan kita, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dikaitkan dengan padi Supertoy.
Dalam situasi semacam ini, sangat jelas untuk melihat di mana posisi petani. Petani hanyalah objek dari kekuasaan yang secara sistemik telah membuat mereka tidak punya kedaulatan atas segala sumber daya yang dimilikinya.
Selain kepentingan politis, dalam konteks benih, ada pihak lain yang ingin mengeruk keuntungan dari petani. Dalam hal ini adalah perusahaan multinasional (multinational corporation/MNC) yang melihat benih sebagai bisnis besar karena melibatkan jutaan petani sebagai pasar.
Proyek bisnis raksasa ini telah dibangun sejak lama. Di Indonesia sendiri, benih-benih lokal yang jumlahnya ribuan dan dulu dikuasai petani, secara sistematis diambil oleh lembaga penelitian internasional seperti International Rice Research Institute (IRRI) yang berpusat di Los Banos, Filipina.
Lembaga ini mengembangkannya menjadi hanya puluhan varietas unggul yang kemudian dengan kebijakan koersif pemerintah, benih itu harus ditanam petani. Alasan yang dipaksakan saat itu adalah meningkatkan produktivitas, melawan kelaparan dunia dan sebagainya.
Pada awalnya, petani dihadapkan pada keajaiban, karena benih-benih baru tersebut memang mampu meningkatkan produksi dan efisien dalam hal waktu produksi. Namun di balik itu semua, berjalan desain besar yang mengarah pada industrialisasi pertanian pangan.
Petani dikenalkan berbagai macam sarana pertanian kimia pabrikan sebagai bagian dari paket teknologi pertanian itu. Panen yang sebelumnya hanya didapat 1-2 kali dalam setahun meningkat menjadi 3 kali. Petani seakan diuntungkan pada awal sistem tersebut diberlakukan.

Regulasi yang mengebiri
Perkembangan dari pertanian modern yang mengandalkan paket teknologi pabrikan, menggiring petani menjadi budak industri. Kehidupan petani yang dulunya bersahaja, dipaksa menjadi alat produksi penyedia pangan.
Kemampuan petani dalam menguasai alat produksi dan teknologinya sendiri kemudian menghilang. Tercipta ketergantungan akut petani terhadap sarana produksi, sementara di sisi lain produk yang mereka hasilkan tidak diapresiasi dengan wajar.
Dalam hal perbenihan, pemerintah dengan sadar menciptakan produk-produk hukum yang justru menghambat kreativitas petani dalam berproduksi. Walau telah meratifikasi International Treaty on Plant Genetic Resource for Food and Agriculture, melalui UU No 4/2006, kenyataannya, pelaksanaan teknisnya, pemerintah lebih mengacu pada konvensi internasional lainnya yang tidak memihak pada petani. Misalnya UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan UU No 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
UU tersebut disesuaikan dengan keinginan World Trade Organization (WTO) yang memproduksi aturan internasional tentang perdagangan dan hak paten atas benih (Trade Related Aspects on Intellectual Property Rights/Trips). Dalam aturan tersebut, kreativitas petani untuk mengembangkan dan memuliakan tanaman sulit diakomodasi.
Bahkan kreativitas petani dapat berbuah hukuman pidana maksimal lima tahun dan denda Rp 250 juta. Hal ini kontras dengan International Treaty on Plant Genetic Resource for Food and Agriculture yang menyebutkan hak-hak petani dan perlindungannya.
Kemampuan memuliakan tanaman merupakan ilmu turun-temurun yang dimiliki oleh petani.

Melindungi hak petani
Sayangnya, dengan kondisi yang memaksa seperti sekarang, kemampuan tersebut menjadi tidak berkembang. Di banyak tempat, secara terang-terangan, petugas penyuluh lapangan (PPL) pertanian, mengancam petani untuk tidak memproduksi benih sendiri dan memaksa mereka menggunakan benih berlabel ”anjuran” mereka. Intensitas kedatangan PPL ke kelompok-kelompok tani di masa lalu dan masih terjadi hingga sekarang, sering kali menyerupai agen-agen perusahaan sarana produksi pertanian (Saprodi).
Oleh karena itu, kreativitas petani masa lalu dalam mengupayakan benih, pupuk serta pengendalian hama sendiri, hilang berganti dengan cara-cara praktis, tetapi menambah ongkos produksi dan membuat petani semakin tergantung.
Kasus padi Supertoy yang sempat mencuat, seharusnya bisa menjadi momentum pengembalian hak benih pada petani, ketimbang hanya menjadi komoditas politik. Pangan sebagai kebutuhan pokok manusia adalah hak dari setiap warga negara. Hal tersebut seharusnya juga berkorelasi dengan hak petani atas benih.
Food and Agriculture Organization (FAO), lembaga pangan dan pertanian dunia sendiri sempat mengeluarkan Resolusi No 5/ 1989 tentang Hak-hak Petani. Di dalamnya disebutkan bahwa hak-hak petani adalah hak-hak yang timbul dari kontribusi petani di masa lalu, saat ini, dan masa depan dalam perlindungan, perbaikan, dan pembuatan sumber daya genetik tanaman, terutama dalam tempat di mana sumber daya genetik ini berasal.
Sayangnya, resolusi ini kalah wibawanya dengan peraturan-peraturan pemerintah yang dituntun oleh WTO. Resolusi yang berpihak pada petani ini harus ditingkatkan kekuatan hukumnya terutama di negara-negara yang kaya dengan sumber daya genetikanya.
Pertanian adalah satu budaya penyediaan kebutuhan pangan manusia. Sudah semestinya, konsep yang dikembangkan adalah model pertanian yang berkelanjutan. Syarat utamanya adalah pemeliharaan ekologis dan penjagaan keanekaragaman sumber genetik hayati yang ada.
Menurut Vandana Shiva, keragaman adalah karakteristik alam dan merupakan dasar kestabilan ekologi (1994). Konsep pertanian yang mendukung industri hanya akan menempatkan petani dalam posisi yang sulit. Kesejahteraan petani akan sulit untuk terpenuhi, sementara kedaulatan pangan juga tidak akan tercapai. Artinya kedaulatan bangsa juga sedang dalam ancaman. - Oleh : Dwi Munthaha Peneliti Farmers Initiative for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD)

Edisi : Sabtu, 17 Oktober 2009 , Hal.4

Tidak ada komentar: