Rabu, 14 April 2010

Saatnya Kaum Muda Meninggalkan Istana

Perebutan atau pergantian kekuasaan antar generasi adalah sebuah peristiwa yang lumrah dalam kehidupan berpolitik. Dalam situasi Indonesia, di mana masa transisi dari Orde Baru masih belum menemukan bentuk idealnya, masalah ini masih berkutat pada bentuk pencarian yang merujuk pada orang. Sepertinya budaya feodal masih begitu mengakar dan belum menemukan akhirnya. Sebagian besar wacana yang berkembang saat ini, belum menyentuh arah sistemik di mana seorang pemimpin dapat dipaksa menjalankan kepemimpinan sesuai dengan aspirasi rakyat.
Pemanasan wacana dalam konteks ini telah dimulai pada saat peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun lalu, di mana sekumpulan pemuda mengikrarkan slogan “Saatnya Kaum Muda Memimpin”. Wacana ini berkembang dengan beragam penafsiran dan kepentingan. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sempat memanfatkan isu ini dengan mengatakan, para senior harus dapat menghormati yunior yang saat ini sedang mendapat amanah menjalankan pemerintahan. Seiring dengan wacana tersebut, beberapa “tokoh muda” mulai mengiklankan diri siap menjadi pemimpin negara ini.
Dengan sistem kepemimpinan yang nirkonsep, siapa pun aktor utamanya tidak akan lebih dari sekadar menjadi penguasa. Sosoknya bisa tua ataupun muda, namun orientasi kekuasaan dapat saja sama. Dalam panggung sejarah dunia, tidak sedikit diktator-diktator mulai berkuasa di usia muda. Soeharto mulai menjadi penguasa di usia yang terbilang muda (46 tahun), Ferdinand Marcos (48 tahun) di Filipina, Alfredo Stroessner (42 tahun) penguasa Paraguay dari tahun 1954 -1989, Adolf Hitler (45 tahun) di Jerman, Benito Mussolini (39 tahun) di Italy, Nicolae Ceausescu (47 tahun) di Rumania, Idi Amin (46 tahun) di Uganda. Masih panjang deretan nama lagi yang dapat disebutkan, bahkan dalam sistem monarkhi, usia-usia belia atau malah balita sekalipun dapat serta merta menjadi pemimpin.

Orientasi yang Meninggalkan Rakyat
Berbagai peristiwa sejarah kekuasaaan di Indononesia, tentunya tidak lepas dari peran kaum muda. Dengan meminjam pendekatan sosiologi sejarahnya Mannhein untuk mengevaluasi sejarah, yang dikaitkan dengan weltanschauung (pandangan hidup), dibutuhkan tiga tingkatan arti yang harus dianalisis yakni, objektif, ekspresif dan dokumenter (Jorge Larrain:1996). Secara objektif, perjalanan sejarah politik Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga saat ini hanya menempatkan sedikit institusi politik dan ormas ditambah militer menjadi pemegang kendali kekuasaan.
Jika mengamati tokoh muda saat ini, seperti halnya tokoh muda di masa lalu, mereka berasal dari golongan terpelajar. Sebagian besar dari mereka merintis perjalanan hidupnya dengan bergabung ke institusi-institusi yang sebelumnya telah ada. Di dalam institusi tersebut mereka mendapat bimbingan dari para senior-seniornya. Tentunya, arti ekspresif yang dapat dilihat adalah pengaruh pola pikir dari seniornya akan cukup mewarnai dari bagaimana mereka bersikap.
Realitas yang ada saat ini, secara umum institusi yang ada di Indonesia dapat dibagi dalam dua golongkan. Golongan yang digunakan oleh kekuasaan dan yang berusaha digunakan oleh kekuasaan. Di setiap institusi-institusi itu terdapat tokoh-tokoh muda dengan beragam posisi dan peran. Sikap kritis dan idealis yang mereka miliki dengan berbagai latarbelakang kepentingannya, menjadi alat untuk pengkritisan dan pembenaran terhadap kekuasaan. Mereka dengan cepat menjadi populer, terlebih setelah media massa mengekspos sepak terjang yang mereka lakukan Sayangnya popularitas mereka tidak berbanding lurus dengan perubahan nasib rakyat. Justru dengan popularitas, berbagai fasilitas dapat dengan mudah mereka dapatkan.
Untuk itu menjadi penting untuk mendapatkan arti dokumenter yang merupakan analisis semua implikasi dari tindakan. Makna dari peristiwa-peristiwa yang ada tersebut, harus menjadi keistimewaan historis dan dapat berubah untuk waktu selanjutnya. Mekanisasi institusional telah mengubah pola pikir kaum muda yang sebelumnya berparadigma kritis-reaktif menjadi pragmatis. Tentu saja pikiran ini masih berupa dugaan, untuk figur- figur yang saat ini tampil. Namun, pengalaman empiris dari banyak kaum muda yang terjun ke arena politik kekuasaan dan mengatasnamakan rakyat, hanya berbuah pada kepentingan pribadi.
Kelemahan yang mendasar dari setiap gerakan termasuk yang dimotori oleh kaum muda adalah internalisasi nilai-nilai ideologis. Ketiadaan ikatan ideologis, membuat mereka merasa bebas nilai untuk bersikap dan menentukan pilihan. Kondisi ini yang membuat sulit untuk berharap terjadinya perubahan sistemik, walaupun semua pemimpin adalah kaum muda. Idealisme yang terbangun adalah idealisme mencari berkah politik. Mereka memiliki kesadaran, bahwa politik mempunyai kekuatan memegang kendali kekuasaan. Dengan kekuasaan banyak hal yang bisa diperbuat dan didapatkan.
Sementara, jauh dari hiruk pikuk politik elit, sebagian besar rakyat masih hidup dalam alam irasionalitas. Kondisi ini diperparah dengan kemajuan teknologi dan ekspansi kekuatan ekonomi global. Sebagian besar dari rakyat hanya dapat berharap hidup sejahtera dalam kemiskinan ilmu dan materi. Kualitas kehidupan yang rendah ini membuat cara berpikir irasional menjadi menguat. Kasus-kasus penipuan melalui SMS masih sering terjadi, berburu Dolar Brasil, dana revolusi, ketegangan antar pemeluk agama, aliran sesat, kasus kolor ijo dan lain sebagainya untuk menyebut sedikit kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kasus-kasus tersebut kurang mendapat perhatian serius dari banyak kalangan terdidik, khususnya intelektual muda. Waktu mereka tersita untuk menganalisis peristiwa-peristiwa politik elit. Ada jarak realitas antara kehidupan rakyat dengan kepedulian para tokoh–tokoh muda kita.

Memperluas Ruang Kesepakatan
Ikrar kaum muda saatnya memimpin, tentunya harus disambut sebagai satu keinginan untuk perubahan yang lebih baik untuk Indonesia. Dengan asumsi tersebut, maka yang harus dilakukan adalah memperluas ruang kesepakatan tentang cita-cita bersama terhadap negeri ini. Dengan berdasar pada kehidupan nyata rakyat, semangat tersebut harus diturunkan pada aksi-aksi penyikapan untuk mengatasi masalah-masalah rakyat. Agenda besar ini jauh lebih penting ketimbang mengiklankan diri sebagai pemimpin. Kunci dari perubahan adalah ketika rakyat sudah memiliki pengetahuan bagaimana kehidupan ini dijalani. Dari sana kebutuhan akan pemimpin menjadi jelas.
Adalah tugas kaum muda yang terdidiklah untuk menjadi katalisator dari perubahan ke arah tersebut. Sudah saatnya kaum muda terdidik tidak lagi silau dengan kenyamanan hidup di dalam lingkaran istana. Peran-peran prophetic dari kaum muda harus muncul seperti halnya Sang Budha yang meninggalkan istana. Dia tidak tahan merasakan kemewahan istana sementara banyak rakyat yang sengsara. Rasanya cukup menarik untuk mencamkan petuah Lao-tzu, “Saya memiliki tiga harta. Jaga dan peliharalah: cinta yang dalam, kesederhanaan, ketidakberanian memenangkan dunia. Dengan cinta yang dalam, seseorang akan jadi pemberani. Dengan kesederhanaan, seseorang akan menjadi dermawan. Dengan ketidakberanian memenangkan dunia, seseorang akan menjadi pemimpin dunia”.
Sikap-sikap itulah yang diharapkan tumbuh dari kaum muda. Kita semua yakin kaum muda akan memimpin karena itu adalah sebuah keniscayaan. Tetapi kaum muda yang benar-benar paham dengan penderitaan rakyat dan mau mengubahnya yang kita harapkan untuk tampil sebagai pemimpin.

Dwi Munthaha
Senior Program Officer, Farmers Initiative for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD) Indonesia.

28 Oktober 2008

Tidak ada komentar: