Senin, 26 Mei 2008

Dekonstruksi Ruang Publik Melalui Kasih Ibu

Oleh: Dwi Munthaha

Hari Ibu ditetapkan tanggal 22 Desember pada Kongres Perempuan Indonesia III tahun 1938. Presiden Soekarno melalui Dekrit Preiden Nomor 316 tahun 1959 memperkuat penetapan yang digagas oleh koalisi organisasi perempuan saat itu. 22 Desember dimaksudkan untuk mengenang waktu awal Kongres Perempuan Indonesia I yang diselenggarakan pada tanggal 22 – 25 Desember 1928 di Yogyakarta.
Terpacu dengan semangat sumpah pemuda, para penggiat organisasi perempuan pada tahun yang sama kemudian melaksanakan Kongres Perempuan Indonesia I. Kongres ini berhasil merumuskan tuntutan yang hingga saat ini masih menjadi isu relevan. Antara lain perkawinan paksa dan di bawah umur, persyaratan perceraian, tanggung jawab pemerintah terhadap janda dan anak yatim dan pendidikan untuk kaum perempuan.
Dari kongres tersebut lahir organ gerakan perempuan Indonesia yang diberi nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Gerakan yang dilakukan PPPI, menunjukkan bahwa kaum perempuan berusaha menembus kungkungan ruang domestik untuk hadir mewarnai ruang publik. Isu-isu yang diusung secara kritis menyikapi bagaimana ketidak adilan dirasakan oleh kaum perempuan. Selain isu-isu yang telah disebutkan, PPPI juga mengangkat masalah perdagangan perempuan dan anak saat itu.
Agenda aksi yang dilakukan saat itu hingga melakukan penetrasi di wilayah-wilayah sektoral penghidupan, seperti petani, buruh dan nelayan. Sunguh sebuah gerakan yang cukup dahsyat saat itu. Tentunya mereka saat itu akan berpikir bahwa hak-hak perempuan akan terfasilitasi dengan baik di masa yang akan datang.
69 tahun sudah Hari Ibu dirayakan, pertanyaan yang cukup mendasar, sudahkah agenda perjuangan kaum ibu atau lebih umumnya kaum perempuan di masa lalu dapat berjalan? Analisa sederhana yang dapat dinilai bersama untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah wajah ruang publik.

Dekonstruksi Makna
Seperti apa wajah ruang publik kita? Tentunya dengan sangat mudah terlihat dan dirasakan, bahwa ruang publik kita pada dasarnya bukanlah milik masyarakat yang sesungguhnya. Ada esklusivitas dengan strata sosial yang berbeda telah menguasai ruang publik. Secara umum penguasaan ruang publik lebih didominasi oleh kepentingan kapital. Entah itu dengan bentuk legal, atau juga criminal, semuanya karena pertimbangan kapital. Misalnya seorang konglomerat dengan sangat mudah memfasilitasi ruang publik untuk menggiring masyarakat menghabiskan uangnya di ruang yang telah disediakan. Juga seorang penodong karena motif kebutuhan kapital, memaksa orang lain untuk menyerahkan harta yang dibawa. Sebagian besar kasus itu terjadi di ruang publik dan perempuan adalah korban terbesarnya. Selain untuk melihat peran posisi perempuan, ruang publik dengan mudah menunjukkan apakah pemerintah mampu bekerja dengan baik atau tidak. Selain itu ruang publik juga menggambarkan bagaimana karakter dan budaya masyarakat secara umum.
Ruang Publik yang sering dipahami oleh banyak orang adalah ruang yang disediakan untuk masyarakat. Sebagian besar beranggapan ruang tersebut adalah medium rekreatif. Orang dapat bersenang-senang di ruang tersebut tanpa kemudian memahami siapa yang berkuasa pada ruang itu. Pemahaman lama ini selayaknya harus cepat diubah, bahwa masyarakatlah yang menyiapkan ruang publik dan ada dalam kekuasaannya. Tentunya dalam hal ini tidak dengan serta merta mengabaikan peran pemerintah. Namun yang dimaksud, pemerintah harus dipaksa untuk mengikuti aspirasi masyarakat. Secara normatif, Habermas merumuskan ruang publik adalah bagian dari kehidupan sosial, di mana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi masalah-masalah politik (Juergen Habermas:1991).
Untuk memperkuat kepentingan masyarakat di ruang publik, perlu menghadirkan nilai-nilai kasih sayang, pengorbanan, kegigihan, dan kesetiaan. Nilai-nilai itulah yang hakikinya dimiliki oleh seorang Ibu, perempuan. Kasih ibu inilah yang telah lama hilang di ruang publik, hingga situasinya menjadi seperti saat ini.


Altruisme Seorang Ibu
Kasih sayang ibu adalah sublimasi dari nilai tertinggi kemanusiaan. Tidak ada kepentingannya lain kecuali kasih sayang itu sendiri. Apa pun bentuk dan dampaknya, sejati dari sikap kasih sayang itu terjadi secara alamiah. Ada kekuatan besar yang ingin melindungi anak-anaknya. Sayangnya, kasih sayang itu secara umum tersendat di ruang domestik. Kasih sayang ibu tidak menyebar dan mempengaruhi ruang-ruang publik. Penyebab utamanya adalah budaya dan system kekuasaan yang patriakis. Carut-marut kondisi saat ini adalah cerminan tidak diberinya ruang di mana kasih ibu mewarnai ruang publik. Ironisnya perempuan termasuk juga ibu justru menjadi komoditas utama yang dieksploitasi. Terutama melalui media-media massa yang menyempitkan makna kasih sayang ibu pada benda. Bahkan ada acara-acara yang mengeksploitasi air mata ibu hanya untuk sebuah perlombaan hiburan. Padahal di tempat lain air mata ibu mengalir deras karena kebutuhan dasar keluarganya tidak tercukupi, atau kekejaman structural yang membuat harkatnya sebagai manusia diabaikan.
Ruang publik yang ada saat ini bukan sekadar tidak ramah pada kepentingan perempuan, tetapi lebih parah lagi mulai menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Kasih sayang ibu yang digambarkan di media-media massa hanya ingin menunjukkan sikap romantisme hubungan keluarga. Padahal nilai kasih ibu melebihi hubungan keluarga tetapi menembus hubungan antara manusia dan juga alam. Kasih ibu adalah benih yang tumbuh disetiap cinta altruisme. Tapi lebih dari itu, kasih ibu adalah dasar bagi perkembangan humanisme universal (Erich Fromm:1997).
Domestifikasi kasih ibu inilah yang kemudian membuat nilai-nilai kemanusian hilang di ruang publik. Orang seakan kehilangan tuntunan ketika berada di ruang publik. Motif ruang itu pun berubah, alih-alih memikirkan kenyamanan nilai-nilai kemanusiaan, justru yang terjadi homo homini lupus. Oleh kelompok eksistensialis, sikap altruisme seperti yang dimiliki oleh seorang Ibu, dianggap rentan dengan perendahan martabat. Artinya pihak yang memiliki kekuasaan kemudian akan memanfaatkan sikap tersebut. Dalam system patriakis yang tidak adil seperti sekarang ini, memang hal itu telah terjadi. Namun altruisme seorang ibu harusnya dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan dan juga control dari upaya perubahan. Dari ruang domestik menuju ruang publik yang lebih berkemanusiaan.

sources: Koran Seputar Indonesia, 22 Desember 2007

Intelektual Versus Kepentingan Rakyat

Oleh : Dwi Munthaha

Intelektual atau juga sering disebut dengan cendikiawan merupakan satu kelompok sosial tersendiri dalam masyarakat. Kelompok ini lahir belakangan, karena sebelumnya mereka dapat berasal dari kelompok sosial manapun. Di Indonesia intelektual, dimasukkan dalam golongan kelas menengah. Posisi kelas menengah inilah yang membuat potensi para intelektual dapat berubah menuju dan menjadi elit. Dari potensi tersebut, maka perlu disimak orientasi dari intelektual berhadapan dengan kepentingan rakyat.
Ada 2 kategori umum untuk definisi intelektual. Pada satu pihak adalah mereka yang beratribut karakteristik pribadi khas, seperti misalnya ”seorang yang baginya berpikir itu sudah memenuhi secara sekaligus fungsi bekerja dan bermain” atau mereka yang tampaknya tidak pernah puas dengan apa-apa seperti adanya dan pada lain pihak, mereka yang mencermati struktur dan fungsi-fungsi sosial (Ron Eyerman:1996).
Seringkali para intelektual dianggap independen, netral tidak berpihak pada golongan manapun. Namun Gramcy berpendapat lain, bahwa kelompok intelektual bukanlah komunitas yang berdiri sendiri (independen). Akan tetapi setiap komunitas memiliki atau menciptakan kelompok intelektualnya sendiri (Muhammad ‘Abid al-Jabiri 2003). Pendapat Gramcy itu menempatkan intelektual pada subordinasi kelompok tertentu. Tapi mungkinkah intelektual dapat masuk dalam kelompok independen dalam hal ini punya kepentingan sendiri pada kekuasaan?

Posisi intelektual
Jika kembali pada permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini, di mana korbannya adalah rakyat, maka kita berhak untuk mempertanyakan, apakah mungkin ada netralitas yang digusung oleh orang per orang atau kelompok yang mengatasnamakan “berjuang demi kepentingan rakyat”? Perjalanan sejarah kekuatan politik beserta anasir-anasirnya di negeri ini telah menunjukkan kenyataan, hak rakyat tidak cukup dipenuhi. Data statistik manapun tidak akan cukup mampu untuk menjelaskannya, karena pemandangan penderitaan dan kemiskinan setiap hari dapat kita saksikan di mana-mana.
Lalu di mana posisi intelektual yang dianggap mahluk netral, hingga apa yang mereka katakan dianggap sebagai kebenaran? Tentunya kaum intelektual dapat membangun argumentasi dengan segepok teori dan metode analisis. Mereka sangat terampil, jujur dan setia. Dari mana dia peroleh itu? Apa filsafat di balik teori-teori tersebut, apa kepentingan aliran ilmu yang dia miliki dan seterusnya. Ambil contoh penelitian seorang ahli sosiologi. Siapa yang menentukan topik penelitiannya? Siapa yang membiayai dan digunakan untuk apa kemudian hasil penelitian itu? Berapa besar dia dibayar dan bagaimana perbandingannya dengan tenaga penyebar kuesioner umpamanya? Kenapa dia yang dipilih? Apa hubungan antara teori yang dia kuasai dengan kepentingan pemberi dana? Apa penjelasan itu semua?
Pertanyaan-pertanyaan di atas berguna untuk mengetahui mengetahui, apa motif di balik pernyataan-pernyataan atau analisis yang dikemukakan oleh para ahli. Artinya proses untuk mereka mampu membuat analisis atas sebuah peristiwa, bukanlah sesuatui yang netral. Kemampuan mereka terbentuk dari rangkaian proses yang melibatkan kepentingan-kepentingan yang terkadang tidak mereka sadari. Opini ilmiah yang disampaikan oleh para intelektual tentang kasus lumpur Lapindo dan PT Asian Agri merupakan sedikit contoh dari keberpihakkan intelektual.
Dengan dasar tersebut, apakah kemudian mereka menjadi layak diposisikan sebagai kelompok netral atau independen? Belum lagi, ketika di antara mereka kemudian tersedot untuk kepentingan politik. Pada situasi tersebut, mereka tidak lagi layak lagi disebut independen karena merupakan bagian dari elemen kekuatan politik. Oleh karenanya, bukan pemecahan masalah yang akan didapat dari mereka, tetapi akan muncul masalah baru, karena mereka juga bagian dari faktor masalah yang ada.
Lihat apa yang dilakukan oleh para intelektual menjelang masa pemilu. Ada yang mendirikan parpol untuk mengukur kekuatan mereka dan penerimaan publik. Ada yang bergabung dengan parpol, tim sukses, serta ada juga yang berhasrat menduduki kursi kekuasaan. Tentunya dengan melihat gelagat yang dilakukan oleh para intelektual itu, bukan tidak mungkin suatu saat, kekuasaan akan dapat dipegang oleh mereka. Lalu bagaimana sikap mereka terhadap rakyat?

Stigma Gerakan Rakyat
Jika kita memakai konteks perubahan, maka sulit untuk berharap, keluarnya solusi masalah dari orang yang punya kepentingan pada kekuasaan. Berapa banyak intelektual yang menggunakan keahlian yang tidak membantu rakyat keluar dari masalahnya. Kalau toh ada, biasanya itu dilakukan dengan setengah hati, misalnya perumusan mereka terhadap solusi atas masalah bangsa melalui terminologi reformasi bukan revolusi. Kata reformasi sendiri, sudah dapat menunjukkan sikap intelektual di negeri ini
Dari sejarah Indonesia, ada yang layak dianggap sebagai revolusi. Revolusi pertama terjadi saat Indonesia merdeka, lepas dari kekuasaan imperialis Jepang. Saat itu, secara tegas, formasi kekuasaan ada di tangan pribumi. Lalu pada tahun 1967, yang diawali dengan Gerakan 30 September 1965. Terjadi perubahan total saat itu, dari formasi kekuasaan hingga ideology. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merupakan kekuatan yang dominan, dibubarkan serta banyak pengikutnya yang dipenjara dan mati dibunuh. Sikap penguasa juga berubah, yang tadinya menentang pengaruh kapitalisme barat dengan menolak bantuan (go to hell with your aid), menjadi sangat terbuka bagi masuknya kepentingan kapitalisme global. Perubahan-perubahan yang sangat mendasar tersebut layak disebut sebagai revolusi. Sedang peluang yang sama juga terbuka pada tahun 1999. Hanya saja, permasalahan yang ada kemudian disederhanakan oleh para intelektual dengan hanya menyebut Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyederhanaan masalah tersebut diperlunak dengan usulan reformasi bukan revolusi.
Mengapa kemudian usulan itu menjadi pilihan? Mari kita lihat satu kasus di bulan Mei 1998 di Jakarta dan Solo serta beberapa kota besar lainnya. Rakyat dengan jelas menyatakan kepentingannya, ”Kami berhak juga atas segala kemakmuran dan keadilan!” Caranya: mereka mengambil barang-barang yang merupakan symbol kemakmuran, dari tempat-tempat yang mudah mereka akses pada saat itu (bisa perumahan mewah, atau mal-mal). Tentu saja tujuannya supaya mendapatkan keadilan. Tapi apa opini yang berkembang di media massa? Tindakan itu disebut sebagai penjarahan, kriminal, dan karenanya harus dihentikan, dan pelakunya harus dihukum. Bagaimana kita bisa menjelaskan makna dan nilai-nilai yang ada dibalik vonis tersebut? Sebagian besar kemakmuran yang dicapai oleh orang per orang berasal dari hasil korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagian besar pengusaha memperoleh modal dari utang pada negara. Dan kalau kita katakan kriminal, hukum yang mana yang kita pakai sebagai landasan? Bagaimana sebuah peraturan ditentukan dan diberlakukan? Untuk kepentingan siapa? Dan, apakah rakyat miskin yang tak punya daya itu, mampu mendesakkan sebuah peraturan yang sesuai dengan kepentingan mereka? Mari kita coba membayangkan sebuah skenario lain dari peristiwa tersebut: Massa rakyat yang terorganisir (perlu peran kaum intelektual yang berpihak untuk melatih rakyat membangun organisasi yang kuat) mengambil alih pusat-pusat perbelanjaan, mengubah status kepemilikannya menjadi koperasi konsumen organisasi rakyat setempat, menyita harta-harta yang berlebihan dari perumahan-perumahan mewah, semisal jumlah mobil yang berlebihan dan seterusnya. Maka, perjalanan sejarah kita bisa lain, terutama bila dilihat dari kepentingan rakyat. Apakah kita setuju atau menolak skenario ini bisa juga dilacak dari mana asal-usulnya sikap itu, sekaligus memperjelas di mana posisi kita berhadapan dengan kepentingan rakyat

sources: Sinar Harapan 11 Maret 2008

Membangun Negara Desa

Dwi Munthaha
Program Officer Farmers Initiative for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD) Indonesia

Jika mengamati perkembangan demokratisasi di Indonesia, secara empiris terlihat proses tersebut hanya mengarah pada demokrasi prosedural. Hal tersebut ditunjukkan dengan penggunaan elemen-elemen formal demokrasi dalam kehidupan bernegara seperti adanya pemilihan umum yang teratur, organisasi politik multipartai, kelembagaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, pers yang bebas, serta banyak hal lainnya.
Demokrasi prosedural ini didorong oleh mulai banyaknya warga negara yang mendapatkan pendidikan tinggi serta tekanan dari dunia internasional yang mensyaratkan komitmen berdemokrasi bagi pemerintah Indonesia. Wacana demokratisasi kemudian menggema dari pusat kekuasaan hingga pelosok-pelosok pedesaan.
Sayangnya, pendekatan demokrasi prosedural ini tidak diikuti dengan pemahaman demokrasi substansial. Pendekatan formal ini hanya menggiring masyarakat untuk mengenali kata demokrasi tanpa harus memahami maknanya. Syarat utama demokrasi substansial adalah rakyat memiliki ruang yang seluas-luasnya untuk terlibat penuh dalam merencanakan, memutuskan, dan mengontrol kebijakan-kebijakan politik serta ekonomi yang menyangkut hajat hidupnya.
Demokrasi bukan pemberian yang taken for granted dapat dirasakan. Dalam sejarah perkembangannya sendiri di masa Yunani Kuno, pemikiran ini didahului oleh pemikiran-pemikiran tentang alam semesta. Baru di akhir abad kelima sebelum masehi, perhatian ditumpahkan ke masalah kosmos kecil, masalah dunia tempat manusia hidup, masalah hubungan sesama manusia dan hakikat masyarakat dengan negara (Deliar Noer 1997). Konsep yang dikembangkan di sana kemudian adalah negara kota.
Walau demikian, demokrasi pada masa Yunani Kuno tersebut, pada dasarnya juga belum menyentuh demokrasi substansial. Karena yang diakui sebagai demos (warga), hanyalah sebagian kecil dari populasi penduduk di sana saat itu. Sebagian besar penduduk adalah budak yang tidak memiliki hak untuk bersuara dan berpendapat, bahkan menentukan nasib mereka sendiri. Hanya, dengan jumlah demos yang relatif kecil, demokrasi langsung dapat dengan mudah dilaksanakan.
Jika mengadopsi konsep negara kota di Yunani, maka upaya untuk mewujudkan adanya negara desa adalah pilihan yang menarik dalam konteks Indonesia. Masyarakat pedesaan memiliki peluang yang lebih besar untuk membangkitkan tumbuhnya demokrasi substansial. Karakteristik masyarakat desa lebih mudah melakukan interaksi dengan sesama warganya ketimbang masyarakat perkotaan yang individualistik. Wilayah yang relatif terbatas (dari segi ukuran), akan memudahkan interaksi-interaksi yang ada kemudian ditingkatkan menjadi kontrak sosial.

Modalitas negara desa
Pendekatan yang perlu dikembangkan untuk membangun negara desa, difokuskan pada wilayah penghidupan sebagian besar masyarakat desa, yakni pertanian. Lebih spesifik lagi dari pendekatan ini, dimulai dari isu biodiversitas dan tata ruang mikro (penataan ruang publik). Biodiversitas yang dimaksud adalah pengelolaan keberlanjutan modal alam yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan. Modal alam tersebut adalah tanaman, di mana keberagaman tanaman memiliki hubungan yang kuat dengan keberlanjutan kehidupan dan penjagaan lingkungan.
Konsep ini sering juga disebut sebagai kesadaran ekologis-dalam. Konsep ini kemudian berkembang menjadi ekologi-sosial yang melengkapinya dengan analisis adanya sistem dominator dari organisasi sosial. Patriarki, imprelisme, kapitalisme, dan rasisme adalah contoh-contoh dominasi sosial yang bersifat eksploitatif dan antiekologis (Fritjof Capra: 2001).
Pemahaman tentang ekologi ini akan ditingkatkan menjadi kemampuan masyarakat dalam menata ruang kehidupan bersamanya (ruang publik). Secara normatif, Habermas merumuskan publik adalah bagian dari kehidupan sosial, di mana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi masalah-masalah politik (Juergen Habermas:1991).
Budaya berkumpul di pedesaan hingga saat ini masih terjaga. Namun media berkumpul tersebut hanya sebatas untuk kepentingan-kepentingan khusus semisal pertemuan kelompok tani, pengajian, arisan, kerja bakti, dan lain sebagainya. Media itu tidak sepenuhnya milik masyarakat karena secara sosio-struktural, ada pihak yang punya kekuasaan terhadapnya. Pada dasarnya masyarakat belum memiliki ruang publik di mana ada kewenangan bagi masyarakat sendiri untuk menentukan fungsi dari ruang tersebut.

Agenda perubahan
Belakangan memang banyak bermunculan program yang berlabel partisipatoris. Namun sayangnya program-program tersebut mengabaikan realitas psikologi dan sumber daya manusia masyarakat pedesaan saat ini. Sebagian besar warga masyarakat pedesaan tidak sempat menikmati fasilitas pendidikan yang berkualitas. Secara sistemik, eksistensi dan peran mereka diletakkan pada posisi marjinal. Posisi inilah yang menghancurkan rasa percaya diri masyarakat desa. Sementara banyak program yang menyisipkan kata 'partisipatori' yang pada dasarnya hanya menerjemahkan kemauan dari bentuk ’top-down. Pengertian top-down yang dimaksud di sini bisa berasal dari pemerintah, LSM maupun juga kaum intelektual. Pola partispatoris semacam itu tidak memberi peluang bagi masyarakat untuk menentukan keputusan berdasarkan pemikiran mereka sendiri.
Memberi peluang bagi masyarakat untuk berkembang, secara alami akan membuat kesadaran hidup berdemokrasi lebih berkualitas. Tentunya untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan usaha yang gigih dari masyarakat sendiri. Jika melihat kondisi masyarakat saat ini, di mana pengaruh sikap pragmatisme sudah sedemikian kuatnya, maka perlu adanya intervensi dari kelompok progresif untuk menjaga arah dari pembentukkan negara desa. Tantangan terbesar gagasan ini akan muncul dari kelompok nasionalis sempit yang akan beranggapan bahwa model negara desa akan memperlemah konsep negara kesatuan.
Namun tuduhan dan anggapan itu dapat ditepis dengan memasukkan negara desa dalam bagian integral negara kesatuan. Justru keberadaan negara desa akan memperkuat posisi negara kesatuan, di mana masyarakatnya lebih memahami kepentingan bersama. Semangat kebangsaan menjadi landasan penting dari gagasan ini. Semangat ini yang telah lama pudar karena gagalnya kesejahteraan rakyat diwujudkan.
Jika melihat situasi saat ini, gagasan negara desa dapat dijadikan wacana kritis bagi pengembangan demokratisasi di Indonesia. Mengubah wacana kritis menjadi kekuatan menuju perubahan sosial, merupakan agenda besar yang harus dilakukan oleh masyarakat pedesaan. Perubahan sosial dari desa akan mewarnai dinamika demokratisasi ke wilayah yang lebih luas.

Ikhtisar
  • Demokratisasi yang berjalan di Indonesia saat ini secara nyata barulah terjadi pada tingkat prosedural dan belum sampai pada persoalan substansial.
  • Menumbuhkembangkan demokrasi dengan konsep memberdayakan warga desa bisa menjadi pilihan agar proses tersebut benar-benar menemukan maknanya.
  • Model negara desa adalah salah satu cara yang bisa digunakan untuk membangkitkan demokrasi substansial.- Semangat menjaga Indonesia sebagai negara kesatuan harus tetap menjadi landasan bagi model tersebut.

sources: Republika, 20 Oktober 2007

Rabu, 21 Mei 2008

Ambiguitas Kebijakan Pertanian Pangan

Oleh: Dwi Munthaha*

Naiknya harga beras dunia yang mencapai lebih dari US$ 800/ ton, seharusnya menjadi kabar baik bagi petani, khususnya petani Indonesia. Logika warasnya, lebih dari 25 juta kepala keluarga di Indonesia berprofesi sebagai petani. Dengan jumlah tersebut, selain tidak khawatir dengan ketahanan pangan nasional, juga punya peluang meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, harga beras tinggi tidak punya korelasi yang signifikan dengan kesejahteraan petani.

Orientasi produksi yang ditekankan oleh pemerintah selama ini, ternyata tidak dilengkapi dengan kemampuan menyerap produk petani. Petani dibiarkan berhadapan langsung dengan pasar. Alhasil jumlah petani pangan semakin berkurang berikut dengan konversi komoditas dan lahan. Atas realitas itu, pembenaran impor beras menjadi masuk akal dengan dalih ketahanan pangan nasional. Dari tahun 2000 -2007 tercatat jumlah impor beras rata-rata mencapai 2 juta ton. Hingga saat ini menurut Menteri Pertanian diperkirakan cadangan beras sekitar 1,25 juta ton (Kompas/1 April). Dari ketersediaan yang ada, pemerintah menyatakan, kita tidak perlu khawatir dengan naiknya harga pangan dunia saat ini. Bahkan peluang untuk mengekspor beras menjadi terbuka.

Dengan sigap Menteri Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor12/M-DAG/Per/4/2008 memperbolehkan Badan Urusan Logistik (Bulog) dan Perusahaan swasta melakukan ekspor. Bulog diperbolehkan mengekspor beras berkulit (padi atau gabah) untuk keperluan benih, beras organik, beras merah, beras siam dan beras pandan wangi. Sedang perusahaan swasta hanya boleh mengekspor beras ketan (Koran Tempo/16 April). Persyaratan lainnya, ekspor baru dapat dilakukan jika stok Bulog sudah di atas 3 juta ton.

Belenggu Ketergantungan Petani

Terlepas peraturan yang dimaksud agar ekspor beras dilakukan tidak asal-asalan, menunjukkan pemerintah tidak punya konsep yang jelas terhadap ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Petani hanya dijadikan tenaga kerja penyedia pangan nasional. Dari saat proses produksi hingga paska panen, pemerintah menghadap-hadapkan petani dengan realitas bisnis. Petani kesulitan untuk mengakses benih yang unggul, pupuk serta sarana produksi pertanian (saprotan) lainnya, karena penguasaannya telah berganti ke perusahaan. Sementara pada masa lalu, saat petani masih berdaulat dengan caranya sendiri, pemerintah memaksa petani menggunakan pola pertanian modern untuk meningkatkan produksi (revolusi hijau).

Karena pemaksaan tersebut, petani menjadi tergantung dengan berbagai barang input pabrikan untuk keperluan berproduksi. Situasi ini juga tidak diantisipasi oleh pemerintah hingga banyak spekulan menjadikan petani sebagai objek untuk mencari keuntungan. Lepas dari fase produksi, petani kembali dihadapkan pada masalah pasar. Pasar petani adalah potret buram dari ketidakadilan sistemik yang ditimpakan pada kaum marginal pada umumnya. Petani tidak mampu melakukan penawaran harga, karena ketidakjelasan siapa yang mampu menampung hasil panennya kecuali tengkulak dan Bulog.

Tengkulak adalah swasta memanfaatkan peluang dari ketidakjelasan mekanisme pasar di tingkat petani. Mereka berinisiatif mengambil keuntungan sebesar-besarnya karena sulitnya petani mengakses pasar. Ditambah dengan sederhananya teknologi petani paska panen serta tekanan kebutuhan ekonomi yang meningkat. Situasi inilah yang berhasil dimanfaatkan untuk menekan harga di tingkat petani.

Pasar lainnya adalah Bulog, lembaga pemerintah yang kerap dirundung masalah. Lembaga ini bukannya mampu membantu petani, tetapi justru memberi ruang bagi para spekulan untuk mengambil keuntungan dari petani. Alih-alih menjalankan mandat untuk mempertahankan ketahanan pangan bagi seluruh warga negara, kinerja Bulog justru mengancam kedaulatan pangan. Dengan mudah Bulog menyimpulkan situasi krisis hingga keputusan impor beras dinilai rasional. Orientasi Bulog sebagai lembaga profit yang tersamar, pada akhirnya diperjelas dengan mengubahnya menjadi Perusahaan Umum (Perum) melalui Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2003. Subsidi bagi Bulog kemudian dihilangkan. Artinya pemerintah semakin mempertegas sikapnya, tidak memperhatikan nasib petani pangan. Walau secara periodik, pemerintah menetapkan peraturan tentang Harga Pembelian Gabah dan Beras, namun Bulog cendrung mempersulit petani untuk menjual hasil panennya.

Upaya untuk mempermudah penyerapan beras petani seperti halnya Program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP), juga menunjukkan ketidaktelitian pemerintah memahami realitas sosial pedesaan. LUEP sebagian besar diserahkan ke perusahaan penggilingan padi (Perpadi). Di banyak tempat pihak penggilingan juga berlaku sebagai pengijon dan penentu harga.

Nasib petani di Indonesia memang dapat dikatakan tragis. Teori ekonomi klasik yang dianggap tidak adil sekalipun, dimana harga ditentukan oleh biaya produksi, masih jauh untuk terpenuhi. Apalagi jika menggunakan teori ekonomi kritis, di mana harga disesuaikan dengan kebutuhan hidup. Lalu siapa sebenarnya yang mampu membantu petani untuk keluar dari masalahnya?

Pengorganisasian Pasar yang Adil

Sebagai produsen yang dikerdilkan, petani dituntut memiliki kesadaran, bahwa hanya dengan membangun organisasi yang kuat masalah pelik dapat dihadapi. Organisasi inilah yang diharapkan mampu menjabarkan semua permasalahan petani berikut rumusan jalan keluarnya. Semisal tentang pasar petani yang terkait langsung dengan distribusi produk. Petani harus mampu mengorganisir kebutuhan pangan di tingkat lokal melalui pasar lokal yang adil.

Pasar lokal dimaksud adalah pasar yang transaksinya dilakukan untuk kebutuhan masyarakat setempat. Pasar semacam ini tidak pernah terwujud jika barang yang disediakan tidak diproduksi di wilayah tersebut. Untuk itu, perlu diidentifikasi jumlah barang yang dibutuhkan dan berapa yang membutuhkannya. Pada tanaman pangan seperti padi, jumlah luasan dan hasil panen di tingkat desa bukanlah hal yang sulit untuk diketahui. Dari sana kemudian dapat dirancang bentuk pasar yang ideal bagi kebutuhan desa setempat. Kasus tanaman pangan menjadi suatu yang khusus, karena negara mendapat mandat, memastikan tak seorang pun warga negaranya yang kelaparan. Oleh karenanya, negara bertanggungjawab mendistribusikan produk yang tidak tertampung untuk warga negara miskin di daerah tersebut. Demikian juga sebaliknya, ketika satu daerah terindikasi kekurangan persediaan pangannya, maka pemerintah bertanggung jawab mendistribusikan dari daerah yang surplus. Selebihnya, baru peluang ekspor terbuka untuk dilakukan. Konsep sederhana ini menjadi rumit, ketika political will negara sedemikian rendahnya. Melepas petani pangan dalam pertarungan bisnis, akan berakibat pada runtuhnya moral petani. Dalam situasi tersebut, sangat dimungkinkan munculnya kreativitas individual. Semisal petani bekerjasama dengan perusahaan untuk memproduksi beras-beras khusus (organik) yang mahal di pasaran luar negeri khususnya kawasan Eropa dan Amerika Serikat. Karena nasibnya tak kunjung diperhatikan oleh negara, sebagian besar produknya diekspor dengan selisih harga yang lebih baik. Walau pada kenyataannya perusahaan lebih diuntungkan dari petani, tetapi pilihan itu akan mengancam ketahanan pangan nasional. Pemerintah sendiri hingga saat ini tidak memiliki mekanisme khusus pembelian produk organik. Sementara jumlah petani organik semakin bertambah. Namun, melihat salah satu butir dari Permendag mutakhir tentang ekspor beras, kriteria beras organik termasuk di dalamnya. Tentunya ini menjadi tanda tanya, dari mana Bulog mendapatkannya? Sementara tidak ada lagi subsidi pada Bulog setelah berubah menjadi Perum. Artinya petani dengan produk yang berkualitas pun tetap hanya akan menjadi objek dari penguasa modal. Parahnya lagi kedaulatan pangan nasional pun menjadi terancam.



* Senior Program Officer, Farmers Initiative for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD) Indonesia

“Idealisme” Mencari Berkah Politik

Oleh: Dwi Munthaha*

Tanpa terasa reformasi telah berumur 10 tahun. Setelah Soeharto terpaksa mundur pada 21 Mei 1998, keran politik menuju elit dibuka lebar-lebar. Seakan semua orang punya kesempatan untuk duduk di wilayah yang bertabur fasilitas itu. Tukang becak, loper koran, pedagang asongan yang dulunya mungkin tidak berpikiran masuk ke dunia tersebut, diberi ruang untuk dapat bersaing. Di beberapa tempat ada yang berhasil menduduki kursi istemewa tersebut. Namun, apa yang terjadi setelah itu, perubahan juga tidak terjadi bahkan semakin parah.

Lalu ke mana para reformis yang dulu ada di garis depan saat penggulingan Soeharto? Beberapa ada yang terserap di parlemen dan birokrasi, tapi ternyata juga tak mampu berbuat apa-apa. Demikian juga dengan pentolan aktivis mahasiswa. Semangat yang menggebu melawan rezim totaliter, juga tidak diimbangi dengan konsep yang sistematis. Mereka kemudian hanya menjadi pajangan di kursi-kursi parlemen dan birokrat. Maraknya mantan aktivis mahasiswa terjun ke dunia politik, bukanlah sesuatu yang baru. Dari sejak republik ini merdeka, panggung politik selalu disemarakkan oleh mantan aktivis mahasiswa yang lalu lalang dengan baju yang berwarna-warni. Siapa yang tidak mengenal Sukarno dan Hatta, mereka pun sebelumnya merupakan aktivis mahasiswa. Bahkan, posisi tertinggi dalam politik dapat mereka dapatkan. Lalu, apa istimewanya dan penting untuk diperdebatkan mantan aktivis menjadi anggota parlemen dan birokrat?

Pengkhianat Reformasi

Kecaman yang paling keras dilontarkan, mereka adalah pengkhianat reformasi (dalam konteks aktivis 1998). Lalu pertanyaannya, pernahkah mereka menjadi pejuang reformasi? Aktivis mahasiswa di negeri ini, terlanjur mendapatkan citra yang penuh dengan muatan heroik dan idealis. Mereka melakukan perjuangan melawan rezim yang korup dan menindas tanpa mempedulikan resiko yang menghadang. Pada fase tersebut, mereka melihat hitam putih, siapa kawan siapa lawan. Dan jelas, lawan pada saat itu adalah Rezim Orde Baru dengan mesin politiknya Golkar. Lalu, ketika ada mantan aktivis yang menjadi anggota parlemen, terlebih lagi dari Golkar, mereka langsung mendapatkan cap pengkhianat reformasi. Kecaman pengkhianat dapat disanggah dengan argumen hendak bermain di dalam sistem. Pertanyaan klasiknya, apakah mereka mampu bermain di dalam sistem yang sudah terlanjur rusak?

Pertanyaan ini terlalu cepat untuk diajukan, karena harus dipahami dahulu, mengapa mahasiswa mendapat perhatian lebih di negeri ini? Apa kontribusi mahasiswa, hingga figur mereka selalu mendapatkan kesempatan berada di tempat yang disorot publik. Jika artis sinetron atau pelawak mungkin jelas, banyak yang merasa terhibur oleh mereka. Dengan modal itu ada beberapa artis yang berhasil menjadi anggota parlemen dan kepala daerah. Apakah mungkin aktivitas gerakan mahasiswa juga merupakan salah satu hiburan yang menarik? Jika mencermati sejarah dari gerakan mahasiswa sejak tahun 1966, aktivitas yang paling menonjol adalah demonstrasi. Julukan seorang demonstran merupakan kebanggaan tersendiri, karena itu membedakan dengan mahasiswa lainnya. Seorang aktivis demonstran tidak dituntut berpenampilan wah. Celana dan baju jarang ganti, merokok pun bisa satu batang ramai-ramai. Namun dari sisi intelektual, mereka punya kemampuan untuk mengaktualisasikan gagasan, pendapat dari beragam referensi yang dimiliki.

Kemampuan tersebut, kemudian diikuti dengan pengorganisasian massa. Dalam hal ini yang dimaksud massa adalah mahasiswa itu sendiri. Ada juga memang yang bisa menjangkau massa lain, seperti buruh dan petani, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Dengan bekal tersebut, mereka melakukan pengkritisan terhadap jalannya pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Kritik secara terbuka (demonstrasi), kemudian mengundang media massa untuk mempublikasikannya. Jadilah mereka semakin populer, terlebih ketika mampu menjatuhkan rezim kekuasaan. Satu rezim jatuh, bergantilah rezim lain yang ternyata juga tidak lebih baik dari sebelumnya. Artinya, kontribusi terbesar dari mahasiswa adalah membantu upaya penggulingan sebuah rezim. Lalu apa kontribusinya bagi rakyat? Selama pergantian rezim kekuasaan, pihak yang paling tidak diuntungkan adalah rakyat. Siklus tersebut terus menerus berulang, dan yang paling menonjol dan diuntungkan dari peristiwa-peristiwa itu adalah tokoh-tokoh mahasiswa.

Memperkuat Gerakan Rakyat

Gerak yang ditunjukkan aktivis paska mahasiswa, kebanyakkan melemahkan elanvital gerakan yang mereka bangun, tetapi di sisi lain bahkan memotivasi untuk berperilaku serupa. Tetapi pada dasarnya gerakan yang dibangun kurang atau bisa disebut tidak memiliki kontribusi bagi kepentingan rakyat. Pada saat mahasiswa, paradigma berpikirnya kritis-reaktif, setelah melalui masa itu berubah menjadi pragmatis. Tentu saja pikiran ini masih berupa dugaan, untuk figur- figur yang tampil saat ini. Namun, pengalaman empiris dari banyak mantan aktivis yang terjun ke politik dan mengatasnamakan rakyat hasilnya nol besar bagi rakyat, tapi tentunya tidak bagi mereka pribadi. Setidaknya, kebiasaan merokok satu batang ramai-ramai, sudah tidak pernah lagi dilakukan, karena persediaan rokok yang melimpah, atau sudah berhenti merokok karena kebanyakan penyakit akibat rakus dengan gaya hidup yang wah.

Tetapi, apakah kemudian seorang mantan aktivis tidak boleh masuk ke dalam sistem? Tentunya, kembali pada pilihan personal masing-masing. Kelemahan yang mendasar dari setiap gerakan adalah internalisasi nilai-nilai ideologis yang menjadi wacana mereka (yang paling parah tidak ada ideologi). Gerakan mahasiswa misalnya, dianggap sebagai sebuah fase dari perkembangan anak muda yang sempat mencipipi bangku kuliahan. Satu kesempatan yang eksklusif, sebab tidak semua anak muda negeri ini mendapatkannya. Tidak adanya ikatan ideologis, hingga setelah itu mereka bebas untuk menentukan pilihan. Dengan model semacam itu, maka tidak akan pernah ada perubahan sistem secara signifikan, walaupun semua wakil rakyat adalah mantan aktivis mahasiswa. Idealisme yang dibangun dengan model tersebut adalah idealisme mencari berkah politik. Mereka memiliki kesadaran, bahwa politik mempunyai kekuatan memegang kendali kekuasaan. Dengan kekuasaan banyak hal yang bisa diperbuat dan didapatkan.

Lalu apa yang harus diperbuat oleh aktivis mahasiswa sekarang? Jika ingin bermanfaat, gerakan yang dibangun harus bersandar pada penguatan posisi rakyat. Gerakan itu harus mampu memberi pendidikan pada rakyat. Bekal itu akan menjadikan rakyat sebagai tokoh utama pada setiap perubahan yang diinginkan. Dengan pilihan ini, bersiaplah untuk tidak populer, itupun kalau kita sepakat bahwa demokrasi adalah kedaulatan rakyat.



* Presidium Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) 1997-1998, Saat ini Senior Program Officer, Farmers Initiative for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD) Indonesia

Mencari Bentuk Kebangkitan


Oleh: Dwi Munthaha*

Kebangkitan nasional yang ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908, pada dasarnya adalah satu upaya untuk menjelaskan, bahwa bangsa ini telah melalui proses panjang dalam mencapai kemerdekaannya. Cita-cita kemerdekaan sendiri saat itu belum sepenuhnya disadari, apalagi menjadikan sebuah negara yang bernama Republik Indonesia. Tentunya akan kurang bijak, jika melihat situasi masa lalu dengan cara pandang saat ini. Karena, selain tidak kontekstual juga berakibat pada pengkerdilan upaya membangun marwah bangsa ini. Di tengah polemik pelurusan sejarah tentang awal kebangkitan nasional, tentunya perlu memahami semangat yang ingin menjadi bangsa (being nation).

Faktual, BO didirikan oleh sekelompok priyayi Jawa dan terkesan sangat eksklusif pada awalnya. Namun, Akira Nagazumi ahli sejarah asal Jepang dalam bukunya The Dawn of Indonesia Nationalism (1972), menemukan fakta-fakta penting yang menyebutkan bahwa para pendiri BO adalah priyayi non tradisional. Mereka merupakan keturunan pegawai kerajaan pra-kolonial. Secara geneologis social dalam lingkup kerajaan, posisi mereka tidak akan berubah menuju elit. Tetapi saat itu sudah ada kesadaran, bahwa perubahan dapat terjadi melalui pendidikan.

Pergolakan pemikiran kritis yang terjadi pada awal abad 20, bisa jadi begitu mengencang saat mulai banyak anak muda pribumi yang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Dari pemikiran kritis tersebut kemudian dimulai satu bentuk pergerakan yang semangatnya melakukan perubahan. Berdirinya BO sendiri menjadi inspirasi semangat meng-indonesia.

Kongres BO I tanggal 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta, walau bahasa pengantarnya digunakan bahasa Belanda, tetapi pada diskusi-diskusi kecil digunakan bahasa melayu cikal bakal bahasa Indonesia. Orang-orang priyayi non tradisional biasanya canggung menggunakan bahasa Jawa dalam rapat-rapat umum, karena menghindari kesalahan ucap yang berakibat dianggap tidak sopan. (Koencaraningrat:1985). Digunakannya bahasa melayu dan bukan bahasa Jawa, adalah satu sikap yang ditunjukkan, bahwa perlu adanya bahasa pemersatu yang tidak mengenal tingkatan. Kebiasaan ini kemudian berlanjut pada pertemuan organisasi-organisasi setelah BO.

Dalam historiographi ortodoks, Jawa menjadi acuan sebagai wilayah sentral gerakan. Alasan tersebut dapat dipahami karena dinamika yang berkelanjutan dari gerakan tersebut denyutnya berada di pulau Jawa. Sebelum BO dibentuk, di Riau pada tahun 1892 pernah didirikan sebuah perkumpulan cendikia yang bernama Rusydiah. Dan tidak menutup kemungkinan, di kemudian hari akan ada catatan tentang terbentuknya organisasi yang lebih awal, namun yang lebih penting adalah, bagaimana memaknai sejarah pada konteks waktu yang tepat. Lebih dari itu apa yang penting dipelajari dari sejarah bagi perkembangan masa depan.

Padamnya Nasionalisme

Kebangkitan nasional yang telah berumur 100 tahun, seharusnya dapat dijadikan momen reflektif, bahwa proses pembangunan karakter bangsa ini belum selesai. Adanya jarak antara kaum intelektual terdidik dengan realitas keadaan rakyat memunculkan hegemoni kekuasaan yang dimiliki oleh negara. Hegemoni kekuasaan sendiri telah terlanjur dikembangkan sejak dulu oleh para penguasa, dan hanya memperpanjang budaya kekuasaan feodal dan kolonial yang lebih parah lagi. Rakyat menjadi tidak lagi memiliki kesempatan untuk bangga menunjukkan jati dirinya, karena moralnya sudah ditaklukkan oleh peraturan dan sanksi. Dalam situasi itu, nasionalisme telah dipadamkan dan lebih parah lagi ekspresi kreativitas rakyat terwujudkan dalam tuntunan konsumersisme.

Selain karena budaya kekuasaan, kooptasi terhadap negara dari rezim neo-liberalisme(neolib) yang merupakan lanjutan dari kolonialisme semakin memperpuruk keadaan. Dampaknya adalah pada pemiskinan rakyat dan alam secara sistematis. Alam yang kian rusak tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Padahal pengrusakan alam yang dilakukan demi kepentingan ekonomi. Alih fungsi hutan lindung yang sudah mencapai 10 juta hektar adalah sedikit contoh dari intensitas pengrusakan tersebut. Sebagian besar berubah menjadi areal pertambangan dan perkebunan skala luas, selain bagian kecil untuk pertanian dan pemukiman rakyat. Ironisnya, eksploitasi dan eksplorasi dilakukan oleh perusahaan multi nasional asing, sementara pemerintah sendiri seakan tidak berdaya. Sebagai negara penghasil minyak bumi yang besar, kita justru kelimpungan ketika harga dunia melambung. Kasus serupa juga terjadi pada sektor pertanian. Ketidakmampuan pemerintah mengelola pertanian pangan dan kesejahteraan petani, berakibat pada terancamnya ketahanan dan kedaulatan pangan.

Saat ini, pengrusakan alam dalam skala luas sudah pada tingkat di luar kendali manusia. Bencana alam, perubahan iklim yang berasal dari orientasi gerak kapitalistik, hanya memposisikan rakyat sebagai objek penderita yang dipaksa mampu beradaptasi dengan penderitaan tersebut. Padahal dengan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, permasalahan-permasalahan mendasar tersebut seharusnya dapat diselesaikan dengan kebijakan politik internal. Sayangnya, tekanan neolib membuat semuanya menjadi rumit. Nasionalisme yang dulu dibangkitkan untuk mencapai kemerdekaan, saat ini berkembang tanpa arti. Kedaulatan bangsa telah tergadai dengan patuhnya pemerintah meratifikasi berbagai kebijakan politik ekonomi neolib.

Kebangkitan Rakyat

Kita sedang memasuki era penjajahan baru. Walau dengan motif yang sama dengan penjajahan di masa lalu, wajah yang ditampilkan berbeda. Penjajahan baru ini semakin mempersempit ruang kita untuk mampu merdeka memutuskan dan bersikap. Segala keputusan yang diambil lebih mempertimbangkan aspek ekonomi bukan lagi harga diri sebagai manusia. Hal ini terjadi hampir merata di semua lapisan masyarakat. Solusinya, harus ada kekuatan politik yang berpihak pada kepentingan rakyat. Tentunya sulit untuk mengandalkan institusi politik yang ada saat ini. Kekuatan politik ini harus muncul dari rakyat sendiri. Agenda membangun dan memperkuat organisasi rakyat tidak dapat lagi ditawar-tawar. Dari organisasi-organisasi rakyat inilah kemudian disepakati berbagai bentuk pola pembangunan dan juga kepemimpinan. Rumusan-rumusan yang ada kemudian didesakkan sebagai agenda nasional. Agenda ini menjadi sangat penting untuk dilakukan mengingat semakin menjauhnya perkembangan bangsa ini dari realitas kepentingan rakyatnya. Oleh sebab itu dibutuhkan good will dari kaum terdidik untuk kembali membangkitkan semangat nasionalisme yang memposisikan rakyat sebagai pemilik negeri ini.

Di tengah penderitaan rakyat, justru para pemimpin menegasinya dengan pernyataan-pernyataan narsistik. Disebutkan keberhasilan pemerintah membangun kondisi ekonomi yang baik dengan pendapatan penduduk per kapita US $ 2000 per tahun (Koran Tempo, 7 Mei 2008). Lagu usang dengan bualan trickle a down effect hanyalah siasat, karena pada kenyataannya si kaya tak mau berbagi dengan si miskin. Kekayaan hanya digunakan untuk semakin memperkuat dan memperluas kekuasaan.

Dr. Sun Yat Sen, tokoh revolusi di China dalam rangka membangkitkan rasa nasionalisme rakyatnya mengatakan, “Apabila kita hendak mengobarkan Nasionalisme, maka haruslah lebih dulu kita insyafkan bangsa kita yang 400 juta itu, bahwa saatnya mati sudah dekat!” (Sun Yat –sen:1928).

Bangsa ini harus didekatkan pada realitas yang sesungguhnya. Karena realitas itulah modal untuk mengejar cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa.



* Senior Program Officer, Farmers Initiative for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD) Indonesia